Fatwa Tarjih Hukum Shalat Jum‘at Online Suara Muhammadiyah
BY SUARA MUHAMMADIYAH
18 Februari, 2021
*Pertanyaan:* Bagaimana hukumnya shalat Jum‘at online yang
beberapa waktu terakhir ini muncul praktik khutbah dan shalat Jum‘at secara
online?
Disidangkan pada Senin, 19 Jumadilakhir 1442 H / 2 Februari 2021 M
*Jawaban:*
Fatwa Tajih Hukum Shalat Jum‘at Online Terima kasih atas pertanyaan
yang diajukan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan bahwa Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan beberapa fatwa berkaitan
dengan shalat Jum‘at, di antaranya adalah fatwa dalam buku Tanya Jawab Agama
(TJA) Jilid 1 halaman 64 tentang shalat Zuhur gantinya shalat Jum‘at, yakni
seseorang yang tidak bisa melaksanakan shalat Jum‘at karena suatu hal maka
penggantinya adalah shalat Zuhur. TJA Jilid 2 halaman 92 tentang makmum di ruangsamping, makmum dapat mengikuti imam dengan cara melihat dan mendengar. TJA
Jilid 3 halaman 92 tentang shalat Jum‘at di masjid bertingkat, seorang imam yang berada di lantai atas dan makmum di lantai bawah dengan menggunakan layar boleh dilakukan dalam satuan tempat. TJA Jilid 4 halaman 123 shalat Zuhur pengganti shalat Jum‘at, seorang yang berhalangan shalat Jum‘at karena sebab yang dibenarkan syar‘ī (hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit) atau ada uzur, maka dikembalikan kepada hukum asal yakni shalat Zuhur. Pada Maklumat
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/H/2020 tertanggal 14 Maret 2020
tentang Tuntunan Ibadah pada masa Pandemi Covid-19 juga disebutkan kebolehan
shalat Jum‘at di rumah untuk menghindari penyebaran virus corona: Apabila
kondisi dipandang darurat maka pelaksanaan shalat Jum‘at dapat diganti dengan
shalat Zuhur di rumah. Demikian pula pada Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Nomor 05/EDR/I.0/E/2020 tertanggal 4 Juni 2020 tentang Tuntunan dan Panduan
Menghadapi Pandemi dan Dampak Covid-19, dijelaskan bahwa shalat Jum‘at dapat
dilakukan di masjid, musala, atau tempat lain yang memungkinkan untuk mencegah
penularan virus corona dan dapat dilakukan dua gelombang. Berkaitan dengan
pertanyaan di atas, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan
ibadah Jum‘at online adalah khutbah dan shalat Jum‘at yang dilaksanakan secara
online atau dalam jaringan (daring) melalui aplikasi telekonferensi video, dalam
hal ini Zoom Clouds Meeting, sehingga membutuhkan ketersediaan teknologi
informasi berupa perangkat keras seperti laptop, komputer atau gawai; jaringan
atau daya listrik; serta jaringan internet dan paket data yang memadai. Termasuk
dalam persoalan ini adalah shalat Jum‘at berimam pada siaran on air radio dan
televisi. Ibadah Jum‘at online ini dilakukan atas dasar prinsip at-taysīr
(kemudahan) pada situasi darurat pandemi Covid-19, sebab tidak mungkin dilakukan
secara normal dengan mengumpulkan banyak orang di masjid. Hal ini karena salah
satu protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19 adalah tidak boleh berkerumun
atau mengumpulkan banyak orang di suatu tempat. Jadi, ibadah Jum‘at online,
selanjutnya cukup disebut shalat Jum‘at online, merupakan persoalan kekininan
yang belum pernah dipraktikkan pada masa Nabi saw. Shalat Jum‘at online ini
termasuk persoalan ijtihādī, sehingga memunculkan ragam pendapat dalam
memahaminya. Shalat Jum‘at adalah salah satu bentuk ibadah maḥḍah (ibadah
khusus). Yang dimaksud dengan ibadah adalah sebagai berikut, اَلْعِباَدَةُ هِيَ
التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِامْتِثاَلِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ
وَاْلعَمَلِ بِماَ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَهِيَ عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ،
فَاْلعَامَّةُ كُلُّ عَمَلٍ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَاْلخَاصَّةُ ماَ حَدَّدَهُ
الشَّارِعُ فِيْهاَ بِجُزْئِيَّاتٍ وَهَيْئَاتٍ وَكَيْفِيَّاتٍ مَخْصُوْصَةٍ.
Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati
segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang
diizinkan-Nya. Ibadah itu meliputi ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum
ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah khusus ialah apa yang telah
ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu
[HPT, 2009, I: 278-279]. Shalat Jum‘at termasuk ibadah khusus (ibadah maḥḍah),
yaitu ibadah yang telah ditentukan rincian tata cara pelaksanaannya baik
mengenai kaifiat, perbuatan maupun ucapannya yang harus dibaca. Dalam
pelaksanaan ibadah khusus (ibadah maḥḍah) itu terdapat ketentuan-ketentuan umum,
yaitu harus mengikuti petunjuk Nabi saw tentang cara-cara dan rincian kaifiatnya
dan tidak boleh dibuat-buat, sebagaimana dituntunkan dalam beberapa nas syariah,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ
اللَّهُ [الشورى (42): 21]. Apakah mereka mempunyai sesembahan selain dari Allah
yang mensyariatkan untuk mereka aturan agama yang tidak diizinkan Allah [Q.S.
asy-Syūrā (42): 21]. عَنْ أَنَسٍ قَالَ … قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ
أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ [رواه أحمد واللفظ
له وابن ماجه وابن حبان وابن خزيمة]. Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: …
Rasulullah saw bersabda: Apabila ada suatu urusan duniamu, maka kamu lebih tahu
mengenainya, dan apabila ada suatu urusan mengenai agamamu, maka kembali
kepadaku [H.R. Aḥmad, Ibn Mājah, Ibn Ḥibbān, dan Ibn Khuzaimah]. عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ [رواه
البخاري ومسلم]. Dari ‘Āisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami ini sesuatu yang tidak
termasuk ke dalamnya, maka ditolak [H.R. al-Bukhārī dan Muslim]. عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه سلم]. Dari ‘Āisyah (diriwayatkan)
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak
berdasarkan kepada perintah kami, maka ditolak [H.R. Muslim]. … صَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى [رواه البخاري]. … Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku melakukan shalat [H.R. al-Bukhārī]. Atas dasar nas-nas di atas para
fukaha merumuskan kaidah fikihiah mengenai ibadah sebagai berikut, اَلْأَصْلُ
فِي اْلعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ حَتَى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهَا عِبَادَةٌ
مَشْرُوْعَةٌ. Pada asasnya ibadah itu dilarang untuk dilakukan kecuali yang
terdapat dalil yang menunjukkannya sebagai ibadah yang masyruk. اَلْأَصْلُ فِي
اْلعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ فَلاَ يُشْرَعُ مِنْهَا إِلَّا مَا شَرَعَهُ اللهُ.
Pada asasnya ibadah itu bersifat taukif, sehingga tidak sah dilakukan, kecuali
yang disyariatkan Allah. اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ اْلبُطْلَانُ إِلاَّ مَا
شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. Pada asasnya ibadah itu batal kecuali yang
disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Untuk memahami berbagai masalah agama (akidah,
akhlak, ibadah, dan muamalat dunyawiah) digunakan suatu sistem pemahaman yang
disebut Manhaj Tarjih. Manhaj Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk
merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam tidak sekedar
bertumpu pada sejumlah prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan
atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam
Muhammadiyah. Salah satu wawasan/perspektif dalam Manhaj Tarjih itu adalah
wawasan tajdid. Tajdid mempunyai dua arti, purifikasi atau pemurnian dan
dinamisasi. Dalam bidang akidah dan ibadah tajdid bermakna purifikasi atau
pemurnian, yakni mengembalikan kepada kemurniannya sesuai dengan Sunah Nabi saw.
Sedangkan dalam bidang muamalat duniawiyah tajdid berarti dinamisasi kehidupan
masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. Shalat
Jum‘at merupakan bagian dari ibadah, sehingga tajdid dalam persoalan shalat
Jum‘at adalah purifikasi, bukan dinamisasi, sehingga harus dikembalikan kepada
kemurniannya. Beberapa ketentuan ibadah shalat Jum‘at tersebut adalah sebagai
berikut, Hukum Shalat Jum‘at Shalat Jum‘at hukumnya wajib bagi setiap orang
Islam yang telah memenuhi persyaratan, hal ini dijelaskan beberapa dalil
berikut, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوآ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَّوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. Wahai orang-orang yang beriman apabila telah
diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui [Q.S. al-Jumu‘ah (62) :9]. Ayat ini berisi tentang seruan atau
panggilan untuk melaksanakan shalat Jum‘at. Panggilan tersebut berupa azan,
artinya apabila muazin telah mengumandangkan azan untuk shalat Jum‘at maka umat
Islam harus bergegas mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat Jum‘at. Adapun
disebut Jum‘at artinya berkumpulnya manusia pada hari itu untuk melaksanakan
shalat Jum‘at di tempat yang luas dan besar seperti masjid yang dilakukan sekali
dalam satu pekan (lihat Ibnu Kaṡir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓim 4/365-367, Wahbah
az-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr 14/573 dan Muhammad ‘Alī aṣ-Ṣābūnī, Tafsīr Āyāt
al-Aḥkām II/569-586). Selain itu Nabi saw mempertegas wajibnya shalat Jum‘at
dalam sebuah hadis, عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي
جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ
مَرِيضٌ ]رواه أبو داود[. Dari Thāriq bin Syihāb (diriwayatkan) dari Nabi saw
beliau bersabda: Shalat Jum‘at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah,
kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang
sakit [H.R. Abū Dāwūd]. Wajibnya melaksanakan shalat Jum‘at ini juga disertai
dengan beberapa ancaman Nabi saw bagi orang yang meninggalkannya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadis, عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ
آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ
عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ [رواه أحمد]. Dari ‘Abdullāh (diriwayatkan) bahwa
Nabi saw bersabda kepada kaum yang meninggalkan shalat Jum‘at: Sungguh aku
berkeingian untuk memerintahkan kepada salah seorang shalat bersama orang-orang,
kemudian aku bakar rumah-rumah dari orang-orang yang meninggalkan (shalat)
Jum‘at [H.R. Aḥmad]. حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ مِينَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ
اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ [رواه مسلم].
Telah menceritakan kepadaku al-Ḥakam bin Minā’ bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Abū
Hurairah keduanya telah menceritakan kepadanya (diriwayatkan), bahwa keduanya
mendengar Rasulullah saw bersabda di atas mimbarnya: Hendaklah orang yang suka
meninggalkan shalat Jum‘at menghentikan perbuatannya, ataukah mereka ingin Allah
membutakan hati mereka, dan sesudah itu mereka benar-benar menjadi orang yang
lalai [H.R. Muslim]. عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ [رواه أبو داود والترمذي]. Dari
Muḥammad bin ‘Amr (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum‘at sebanyak tiga kali karena
meremehkannya, maka Allah akan menutup hatinya [H.R. Abū Dāwūd dan at-Tirmidzī].
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa shalat Jum‘at termasuk perkara
penting yang diungkapkan dalam bentuk perintah maupun ancaman. Di antara ancaman
tersebut adalah akan ditutup hati orang yang meninggalkan shalat Jum‘at dengan
sengaja dan meremehkannya. Imam Malik mengatakan bahwa yang dimaksud
meninggalkan Jum‘at dengan sengaja adalah meninggalkan karena malas atau tidak
ada uzur yang dibenarkan oleh syariat. مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ. “Barangsiapa
meninggalkan Jum‘at tiga kali tanpa ada uzur atau sebab (yang dibenarkan), maka
Allah mengunci hatinya [al-Muntaqā Syarḥu al-Muwaṭṭa’, 1/204]. Ancaman
meninggalkan shalat Jum‘at ini tentunya tidak berlaku bagi mereka yang tidak
termasuk golongan yang wajib melaksanakan shalat Jum‘at, seperti hamba sahaya,
anak kecil, wanita dan orang sakit. Ancaman ini juga tidak berlaku bagi orang
yang meninggalkan Jum‘at karena sebab yang dibenarkan syariat seperti adanya
bencana atau kondisi lainnya yang dapat membahayakan keselamatan jiwa. Dikaitkan
dengan kondisi yang melanda dunia termasuk umat Islam sekarang, yakni pandemi
Covid-19 yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, maka orang yang meninggalkan
shalat Jum‘at tidak termasuk kategori dalam ancaman hadis ini. Bagi orang yang
tidak dapat melaksanakan shalat Jum‘at karena sebab tersebut, diperbolehkan
tidak melaksanakan shalat Jum‘at, tetapi diwajibkan untuk melaksanakan shalat
Zuhur sebagai pengganti shalat Jum‘at sebagai hukum asal (‘azīmah) bagi orang
yang tidak melaksanakan shalat Jum‘at (lihat TJA Jilid 4 halaman 123), dan
baginya tetap mendapatkan pahala Jum‘at. عن أَبى بُرْدَةَ سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى
مِرَارًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا
صَحِيحًا [رواه البخاري]. Dari Abū Burdah (diriwayatkan), aku mendengar Abū Mūsā
beberapa kali berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang hamba sakit atau
melakukan perjalanan maka dicatat (pahala) baginya seperti apa yang dilakukan
orang yang mukim dan sehat [H.R. al-Bukhārī]. Selain itu shalat Jum‘at memiliki
beberapa keutamaan khusus yang tidak ada pada shalat fardu lainnya, seperti
keutamaan mandi janabah menjelang shalat Jum‘at, hadir lebih awal pada shalat
Jum‘at, terdapat kafarat dosa antara Jum‘at satu dengan Jum‘at lainnya. Salah
satu hadis yang menyebut keutamaan shalat Jum‘at tersebut adalah, عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْأُولَى، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ
الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ [رواه مالك]. Dari Abū Hurairah
(diriwayatkan), Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mandi janabah pada hari
Jum‘at lalu pergi untuk melaksanakan Jum‘at pada waktu pertama seolah-olah ia
berkurban unta, barangsiapa datang pada waktu kedua seperti berkurban sapi,
barangsiapa datang pada waktu ketiga seperti kurban seekor kibas yang bertanduk,
barangsiapa datang pada waktu keempat seperti berkurban ayam dan barangsiapa
datang pada waktu kelima seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam sudah
datang maka para malaikat hadir ikut mendengarkan khutbah [H.R. Mālik]. Tata
Cara Shalat Jum‘at Shalat Jum‘at ini merupakan ibadah maḥḍah, sedangkan prinsip
ibadah maḥḍah adalah terlarang kecuali ada perintah. Oleh karenanya tata cara
shalat Jum‘at harus mengikuti petunjuk dan sesuai dengan tuntunan berdasarkan
al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt, …
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. … Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksa-Nya [Q.S. al-Ḥasyr
(59): 7]. Prinsip umum tata cara shalat Jum‘at sama dengan shalat fardu lainnya,
yakni dilakukan secara berjamaah, menghadap kiblat, pengaturan saf dan aturan
lainnya dalam ketentuan shalat berjamaah. Semua ketentuan shalat berjamaah pada
shalat lima waktu berlaku pula pada aturan shalat Jum‘at (lihat Materi Munas
Tarjih XXX tahun 2018 di Makassar tentang Tata Cara Shalat Berjamaah hal. 244).
Ada beberapa hal penting berkaitan dengan tata cara shalat Jum‘at yang perlu
dijelaskan, di antaranya adalah, Shalat Jum‘at Dilaksanakan di Masjid Para ulama
banyak merumuskan tentang syarat sahnya shalat Jum‘at, Wahbah az-Zuhailī
merumuskan ada sebelas syarat sahnya Jum‘at di antaranya shalat Jum‘at
dilaksanakan di masjid dengan berjamaah (lihat al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh
II/1291, bāb Syurūṭ ṣiḥḥah al-Jumu‘ah: Iḥdā ‘Asyrata). Dalam kondisi tertentu
dibenarkan pelaksanaan shalat Jum‘at tidak di masjid, yakni dapat dilaksanakan
di tempat selain masjid. Kebolehan ini bisa disebabkan karena tidak ada masjid
yang dapat dipergunakan shalat Jum‘at seperti di ruang sekolah, kantor atau
ruang publik lainnya. Sebab lain dibolehkan shalat Jum‘at di luar masjid karena
kapasitas masjid tidak dapat menampung banyak jamaah sehingga harus melebar ke
ruangan lain di luar masjid (lihat Tanya Jawab Agama jilid II/92 dan III/92).
Sebagai contoh shalat Jum‘at yang dilaksanakan di Masjidil Haram pada musim
haji, hampir selalu meluber sampai ke luar masjid seperti halaman masjid, di
hotel-hotel sekitarnya hingga ke jalan-jalan. Dalam keadaan ini, shalat Jum’at
tetap sah karena masih adanya ketersambungan antara jamaah yang di luar masjid
dengan jamaah yang di dalam masjid dan kesatuan tempat antara imam dengan makmum
meski terhalang dinding atau yang lain. Peristiwa seperti ini pernah terjadi
pada masa Nabi Muhammad saw, beliau menjadi imam shalat di balik tabir sedangkan
makmum terpisah dengan tabir dan makmum mengikuti imam dari suara Nabi saw,
sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut. عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ
لَنَا حَصِيرَةٌ نَبْسُطُهَا بِالنَّهَارِ، وَنَحْتَجِرُهَا بِاللَّيْلِ، فَصَلَّى
فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ
الْمُسْلِمُونَ قِرَاءَتَهُ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ … [رواه أحمد]. Dari ‘Āisyah
(diriwayatkan) ia berkata: Kami mempunyai sehelai tikar yang kami bentangkan di
siang hari dan kami jadikan dinding di malamnya, maka Rasulullah saw shalat pada
suatu malam di tempat yang didindingi tikar itu, seketika kaum muslimin
mendengar bacaannya dan mereka pun shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi (dari
balik tabir) … [H.R. Aḥmad]. Hal ini juga terjadi pada masa sahabat yang
dilakukan oleh Anas bin Malik, peristiwa ini digambarkan dalam riwayat berikut,
عَنْ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى
الْجُمُعَةَ فِي بُيُوتِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفِ، فَصَلَّى
بِهِمْ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَبَيْنَ بُيُوتِ حُمَيْدٍ
وَالْمَسْجِدِ الطَّرِيقُ [رواه الشافعي]. Dari Shālih bin Ibrāhīm (riwayatkan) ia
berkata: Aku melihat Anas bin Mālik shalat Jum‘at di rumah Humaid bin
‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, maka ia shalat bersama mereka mengikuti shalat imam yang
berada di masjid, sedangkan di antara rumah-rumah Humaid dan masjid adalah jalan
[H.R. asy-Syāfi‘ī]. Dari kedua riwayat tersebut dapat dipahami bahwa shalat
Jum‘at dapat dilakukan di luar masjid dengan tetap mengikuti induk shalat dan
pada kesatuan tempat. Oleh karena itu shalat Jum‘at yang dilaksanakan mengikuti
induk jamaah, meskipun terhalang dinding, ruang, jalan atau sungai, selama masih
terkoneksi atau terhubung dengan jamaah induknya, maka shalat Jum‘atnya tetap
sah. Dalam kondisi tertentu untuk membantu ketertiban shalat Jum‘at berjamaah
dapat pula digunakan alat penghubung antara imam dan makmum berupa media layar
yang menampilkan gambar seperti LCD/LED dan media lain dalam bentuk suara
seperti loud speaker atau lainnya. Kesatuan tempat antara imam shalat Jum‘at
beserta makmumnya merupakan bagian dari syarat sah shalat Jum‘at. Hal ini
dilakukan secara hakiki (nyata), bukan dalam bentuk lainnya, yakni seorang imam
shalat di bagian depan dan makmum shalat di sudut lainnya di dalam masjid atau
seorang shalat di luar masjid dengan tetap mengikuti imam di dalam masjid, maka
sah shalat Jum‘atnya. (lihat al-Hāwī al-Kabīr II/343, al-Fiqh al-Islamī wa
Adillatuh II/1299). Penataan Saf Shalat Jum‘at Imam shalat Jum‘at hendaklah
memperhatikan makmum sebelum memulai shalat dengan memastikan kesiapan makmum
dalam mengikuti shalat berjamaah seperti lurus dan rapatnya saf serta penuhnya
saf depan lebih dahulu baru kemudian saf berikutnya. Dalil yang menjelaskan hal
ini adalah hadis-hadis berikut. عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ
فَيَقُولُ: تَرَاصُّوا، وَاعْتَدِلُوا [رواه أحمد]. Dari Anas (diriwayatkan) ia
berkata: Adalah Rasulullah saw menghadapkan wajahnya kepada kami sebelum
bertakbir, lalu beliau berkata: Luruskan dan rapatkan [H.R. Aḥmad]. عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتِمُّوا الصَّفَّ
الْأَوَّلَ وَالَّذِي يَلِيهِ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ
الْآخِرِ [رواه أحمد]. Dari Anas (diriwayatkan), Rasulullah saw bersabda:
Penuhilah saf pertama kemudian saf berikutnya, jika ada kurang maka jadikanlah
pada saf akhir [H.R. Aḥmad]. Makmum yang berjumlah lebih dari satu posisinya
berada di belakang imam, berdasarkan hadis Nabi saw berikut ini. عَنْ جَابِرٍ
بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّى الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِى فَجَعَلَنِى
عَنْ يَمِيْنِهِ ثُمَّ جَاءَ صَاحِبٌ لِى فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ [رواه أبو داود].
Dari Jābir bin ‘Abdullāh ia berkata, [diriwayatkan] bahwa Nabi saw berdiri untuk
melakukan shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka
beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Setelah itu datang
seorang temanku, lalu kami berdiri (bersaf) di belakang Nabi” [H.R. Abū Dāwūd].
Makmum Mengetahui Kondisi Imam Shalat Jum‘at Dalam shalat berjamaah seorang
makmum dituntut juga mengetahui beberapa hal tentang kondisi imam, seperti batal
atau tidaknya imam, mengetahui dan mengikuti gerakan shalat imam juga seorang
makmum tidak mendahului imam. Para ulama mengharuskan adanya keselarasan gerak
antara imam dan makmum adalah berdasarkan hadis Nabi saw: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلَ
الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ
فَارْكَعُوا [رواه البخاري]. Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi
saw bersabda: Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti, apabila imam takbir
maka makmum ikut bertakbir dan apabila imam rukuk maka makmum pun ikut rukuk
[H.R. al-Bukhārī]. Hadis ini dipahami sebagai dalil keharusan mengikuti gerakan
shalat imam seperti gerakan rukun shalat maupun intiqāl (perpindahan). Makmum
wajib mengikuti gerakan imam dengan cara melihat langsung gerakan imam, melihat
gerakan makmum yang ada di belakang imam atau memperhatikan suara imam (lihat
TJA Jilid 2 halaman 92). Sebagian ulama juga memahami bahwa hadis ini tidak
sekedar keharusan mengikuti imam tetapi juga keharusan adanya kesatuan tempat
antara imam dan makmum. Artinya, imam dan makmum harus berada pada satu tempat,
posisi makmum tidak boleh berada di depan posisi imam, karena yang demikian
menjadikan tidak sah shalatnya, demikian pandangan dari mazhab Syafii (lihat
Syarḥ Ibnu Baṭal 3/389). Kesatuan tempat serta ketersambungan imam dan makmum
menjadi penting dalam shalat berjamaah termasuk pada shalat Jum‘at. Oleh karena
itu seorang laki-laki atau perempuan, kuat atau lemah, sendiri maupun banyak
tidak diperbolehkan melaksanakan shalat dari rumah sementara imam shalat berada
di masjid. Pelaksanaan seperti ini juga tidak boleh dilakukan baik pada shalat
fardu, sunah, Jum‘at maupun shalat lainnya, baik rumahnya berada di depan maupun
belakang dari posisi imam shalat, karena pada prinsipnya shalat berjamaah
dilakukan pada kesatuan tempat seperti di masjid dan ketersambungan imam dan
makmum (lihat Fatawā Lajnah ad-Dāimah lil-Buḥuṡ ‘Alamiyyah wal-Iftā’, 10/206).
Problematika Shalat Jum‘at Online Dari uraian tentang hukum dan tata cara shalat
Jum‘at di atas, dapat diketahui bahwa shalat Jum‘at yang dilakukan secara online
ternyata mengandung beberapa problematika, di antaranya adalah, Pertama, shalat
Jum‘at adalah ibadah yang bersifat ta‘abbudī dan termasuk dalam kelompok ibadah
yang khās (khusus) atau maḥḍah, sehingga perincian-perinciannya telah ditetapkan
oleh nas al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw. Oleh sebab itu dalam shalat Jum‘at
tidak diperkenankan adanya kreasi selain apa yang telah dituntunkan.
Meng-online-kan shalat Jum‘at termasuk kreasi yang sejatinya tidak
diperkenankan. Ini berbeda dengan akad nikah misalnya, yang merupakan bentuk
ibadah muamalat, sehingga memungkinkan adanya kreasi seperti akad nikah dengan
bahasa selain bahasa Arab, akad nikah melalui surat atau pun akad nikah secara
online. Kedua, shalat Jum‘at online tidak sesuai dengan tuntunan shalat Jum‘at,
khususnya tentang kesatuan tempat secara hakiki (nyata), bukan virtual,
ketersambungan jamaah, posisi imam dan makmum serta beberapa keutamaan shalat
jamaah. Dalam shalat Jum‘at online, tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata)
tidak tercapai, karena jamaah shalat Jum‘at online bisa berada di mana pun
sesuai dengan keberadaan masing-masing jamaah. Ketersambungan jamaah juga tidak
bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi. Demikian pula
posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di
belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya saf shalat. Ketiga, rukhsah
untuk ditinggalkannya shalat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini,
selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi saw pada penjelasan di atas,
mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih
mudah. Nabi saw menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka
dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis
berikut, عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا
أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري]. Dari ‘Āisyah r.a.
(diriwayatkan) bahwa ia berkata, tidaklah Rasulullah saw memilih di antara dua
perkara kecuali beliau mengambil yang paling mudah di antara keduanya, selama
tidak ada dosa [H.R. al-Bukhārī]. Shalat Jum‘at secara online sudah tentu
menggunakan serangkaian perangkat untuk bisa dilaksanakan, baik perangkat untuk
online berupa paket data internet, perangkat keras berupa laptop misalnya,
perangkat lunak yang dalam hal ini menggunakan aplikasi telekonferensi video
Zoom Clouds Meeting, maupun kebutuhan listrik untuk menghidupkan
perangkat-perangkat tersebut. Oleh sebab itu, shalat Jum‘at online sangat
bergantung pada ketersediaan perangkat-perangkat tersebut. Seandainya
perangkat-perangkat yang digunakan mengalami masalah, apakah karena ada gangguan
suplai listrik, gangguan sinyal dan lain sebagainya, maka pelaksanaan shalat
menjadi terganggu atau bahkan batal dilaksanakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi
jamaah shalat Jum‘at online tersebut. Kemajuan teknologi harus diakui sebagai
berkah yang besar. Di bidang medis, kemajuan teknologi mampu menyelamatkan
puluhan juta manusia untuk bertahan hidup. Di bidang komunikasi, orang dapat
bertemu dan berkomunikasi di ruang virtual (maya). Tetapi teknologi jangan
sampai melakukan mekanisasi terhadap kehidupan manusia, sehingga hidup manusia
di bawah kendali mesin-mesin yang menyebabkan ruang pribadi dan ruang spiritual
manusia menjadi kehilangan makna. Tidak semua kehidupan manusia dapat dimasuki
oleh kemajuan teknologi. Pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi,
karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung.
Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan,
mengimami shalat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah
menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi. Artinya, satu
dimensi kehidupan manusia yang sangat penting sudah tergerus oleh mesin-mesin
yang diciptakan manusia sendiri. Jadi, penerimaan kemajuan teknologi dalam
bidang ibadah tetap harus dibatasi, termasuk dalam ibadah shalat Jum‘at ini,
shalat dilakukan sebagaimana adanya. Keempat, sungguh pun shalat Jum‘at online
adalah masalah ijtihādī, namun secara realitas telah menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu hal yang menimbulkan kontroversi sebaiknya
ditinggalkan, sebagaimana kaidah fikihiah berikut ini, الخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ
مُسْتَحَبٌّ. Keluar dari khilaf (kontroversi) itu disukai. Adapun jalan keluar
yang paling ideal dari sebuah kontroversi adalah kembali kepada nas, yaitu
rukhsah shalat Jum‘at yang tidak dapat dilaksanakan adalah diganti dengan shalat
Zuhur. Hal ini mengacu pada al-Qur’an surah an-Nisā’ (4): 59, يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah berpandangan bahwa, Shalat Jum‘at adalah ibadah maḥḍah yang wajib
dilaksanakan sesuai ketentuan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw. Segala
sesuatu dalam ibadah maḥḍah yang dilakukan di luar tuntunan Nabi Muhammad saw
tidak dapat dibenarkan. Shalat Jum‘at hukumnya wajib dikerjakan, sehingga
apabila terjadi suatu kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya
shalat Jum‘at, maka kewajiban shalat Jum‘at menjadi gugur dan diganti dengan
shalat Zuhur. Dalam keadaan darurat karena pandemi Covid-19 ini, jika hendak
mendirikan shalat Jum‘at, maka dapat dilaksanakan secara terbatas di rumah atau
tempat lainnya selain masjid atau dapat melaksanakan shalat Jum‘at di masjid
secara bergantian (gelombang) dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara
sangat ketat. Praktik Hukum shalat Jumat online, walaupun itu persoalan
ijtihādī, namun ada ketentuan shalat Jum‘at yang tidak dapat tercapai dalam
praktik shalat Jum‘at secara online, yaitu adanya kesatuan tempat secara hakiki
(nyata), ketersambungan jamaah, pengaturan posisi imam dan makmum yang sesuai
dengan ketentuan shalat jamaah (makmum berada di belakang imam) serta
keutamaan-keutamaan shalat Jum‘at. Di samping itu, shalat Jum‘at yang dilakukan
secara online justru lebih memberi kesulitan baru karena mengharuskan
ketersediaan serangkaian perangkat online daripada menggantinya dengan shalat
Zuhur. Sejauh penelusuran terhadap berbagai literatur, Majelis Tarjih dan Tajdid
belum menemukan dalil atau alasan yang kuat untuk mengganti shalat Jum‘at dengan
shalat Jum‘at secara online. Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa
hormat terhadap pendapat yang berbeda, Majelis Tarjih dan Tajdid belum dapat
menerima pelaksanaan shalat Jum‘at secara online Demikian jawaban fatwa dari
kami semoga dapat dipahami. Kami juga mengajak kepada warga Persyarikatan untuk
senantiasa berdoa kepada Allah swt agar dijauhkan dari pandemi Covid-19 yang
sedang mewabah di seluruh dunia. Warga Persyarikatan hendaknya mengikuti semua
fatwa maupun putusan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah pada masa pandemi Covid-19
ini dan mengikuti arahan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Muhammadiyah
Covid-19 Command Center (MCCC) dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.