JALAN JALAN NAMBAH IMAN NGUWATKE PASEDULURAN
(Sebuah perjalanan rihlah mengesankan di barat daya jawa tengah yang meliputi kota : Dieng, Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Porwakarta, Jogja, Solo, Karanganyar dan Sragen).
AWAL SEBUAH
PERJALANAN
Sabtu malam Ahad, 25 Januari 2025. Malam itu, langit Kamal, Bangkalan, dihiasi bintang-bintang yang
malu-malu menampakkan cahayanya lantaran agak sedikit mendung. Angin berhembus
pelan, membawa aroma asin dari laut yang tak jauh dari tempat kami berkumpul—di
Graha Azizah, pusat dakwah Yayasan Jauharul Ummah. Suasana penuh harap dan
semangat terasa kental di antara kami, dua puluh orang sahabat dari Madrasah
Miftahul Ma’arif (MIFARIF), bersiap memulai sebuah perjalanan rihlah yang tak
sekadar untuk melepas penat, melainkan juga menambah iman dan mempererat
persaudaraan.
Sebelum
roda bus berputar meninggalkan tanah Madura, kami menggelar shalat Isya
berjamaah. Suasana hening, khusyuk, seolah menjadi pertanda baik untuk
perjalanan ini. Setelah salam terakhir diucapkan, doa bersama dipanjatkan, melangitkan
harapan agar Allah meridhai setiap langkah kami, melindungi dari mara bahaya,
dan memberkahi perjalanan ini dengan pengalaman berharga.
Tepat
pukul tujuh malam, mesin bus meraung pelan, menandai dimulainya petualangan
kami menuju Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Di dalam bus, suasana riuh
rendah. Tawa dan obrolan ringan menjadi teman perjalanan, mengalahkan rasa
kantuk yang perlahan menghampiri. Lampu-lampu kota berganti pemandangan gelap
khas jalan antarprovinsi, ditemani kelap-kelip lampu kendaraan lain yang melaju
seirama dengan kami.
Hari Pertama : DIENG MENYAMBUT PAGI
Setelah menempuh perjalanan sekitar sembilan jam, tibalah kami di Dieng. Udara dingin langsung menyergap begitu kaki menginjak tanah dataran tinggi ini. Hembusan angin pagi mengandung aroma khas pegunungan—segar, murni, dan sedikit menusuk hidung. Kami disambut seorang pemandu wisata yang telah menunggu, wajahnya ramah meski pagi masih enggan beranjak dari gelap.
Tanpa membuang waktu, usai
sholat subuh, empat unit jeep telah disiapkan, menanti untuk membawa kami
menaklukkan medan pegunungan Dieng. Angin subuh merayap masuk melalui
celah-celah jendela jeep, menggigit kulit namun justru memompa adrenalin. Kami
memulai perjalanan menuju salah satu puncak tertinggi, berharap dapat
menyaksikan matahari terbit yang melegenda.
Namun,
harapan tak selalu mulus. Jalur menuju puncak dipenuhi kendaraan wisatawan
lain. Lampu-lampu mobil berjejer seperti ular cahaya yang meliuk di lereng
gunung. Macet. Kami tertahan di tengah jalur, terperangkap di antara semangat
dan kenyataan. Tapi siapa peduli? Justru di situlah letak keseruannya. Canda
tawa, gurauan ringan, bahkan keluhan kocak dari teman-teman membuat perjalanan
yang macet pun menjadi kisah yang tak terlupakan.
Tantangan
kami tak berhenti di situ. Saat antrian mulai bergerak pelan di jalan yang
menanjak curam, tiba-tiba brukk!—jeep yang kami tumpangi mogok di tengah
tanjakan. Kepanikan kecil menyelimuti kami. Posisi jeep yang berhenti mendadak
di jalur sempit, diapit kendaraan lain di depan dan belakang, membuat situasi
sedikit menegangkan. Ditambah lagi jalan yang miring, membuat kami merasa
seolah-olah jeep bisa meluncur mundur kapan saja.
Sopir
kami mencoba berkali-kali menyalakan mesin, namun sia-sia. Suara mesin hanya
berdehem pelan sebelum akhirnya diam. Di tengah kebingungan, seorang petugas
kepolisian yang sedang mengatur lalu lintas datang menghampiri. Dengan sigap,
ia membantu mengarahkan kami untuk memundurkan jeep perlahan-lahan, menghindari
kendaraan di belakang. Proses ini tidak mudah—maju sedikit, mundur perlahan,
mengatur posisi agar tidak tergelincir. Keringat dingin bercampur adrenalin,
namun akhirnya mesin berhasil menyala kembali.
Belum
sempat lega sepenuhnya, ujian berikutnya menanti. Tak jauh dari puncak, tepat
saat semangat kami hampir mencapai titik tertinggi, jeep itu mogok lagi. Kali
ini lebih parah. Jalan semakin curam, udara semakin dingin, dan
saya—satu-satunya laki-laki di dalam jeep—harus turun untuk membantu. Perlu
diketahui bahwa penumpang pada jeep kami, semuanya adalah ibu ibu: Ibu Nyai
Afri Asiatin, Ibu Diyah dan Ibu Lies. Bersama sopir yang memegang kendali
sopir, saya mendorong jeep yang beratnya terasa dua kali lipat karena beban dan
kemiringan jalan, belum lagi beban dari emak emak yang berpostur jumbo masih
nengkring di atas jeep. Tapi aku bahagia, aku tidak mengeluh, bahkan yang ada dalam diriku adalah bangga,
karena aku merasa bag supermen yang datang memberi bantuan saat dibutuhkan. Sesekali saya juga harus mengganjal ban dengan
batu agar jeep tidak meluncur mundur. Dingin yang menusuk tulang bercampur
peluh yang mengalir di dahi, tapi justru di situlah letak kehangatan dan
keasikanya.
Akhirnya,
setelah beberapa kali mencoba, mesin jeep kembali menyala. Sorak kecil keluar
dari mulut kami, seolah-olah baru saja memenangkan perlombaan. Kami melanjutkan
perjalanan menuju puncak dengan hati yang lebih ringan.
Dan
meskipun lelah, penuh tantangan, kami bahagia. Sebab perjalanan ini bukan hanya
tentang mencapai puncak, tetapi tentang bagaimana kami saling mendukung di setiap
tanjakan, setiap mogok, dan setiap tawa yang tercipta di antaranya.
DESTINASI WISATA DIENG
Udara
dingin yang menggigit menyambut langkah pertama kami di Dataran Tinggi Dieng.
Aroma tanah basah bercampur kabut tipis menguar, menandai awal petualangan yang
tak sekadar perjalanan wisata, tetapi sebuah rihlah jiwa, menguatkan iman dan
meneguhkan persaudaraan.
Di
Dieng, kami memiliki empat destinasi wisata utama yang menjadi sasaran
kunjungan. Empat destinasi tersebut telah menunggu kami, seolah senyum
memanggil-manggil dari kejauhan. Destinasi pertama adalah Pintu Langit, tempat
kami menargetkan untuk menikmati keindahan matahari terbit. Pintu Langit
menjadi tujuan pertama karena tempat ini akan menjadi harapan kami untuk
menyaksikan keindahan si mungil surya yang baru keluar dari persembunyianya, ia
akan melukis langit dengan semburat jingga dan emas mempesona.
Perjalanan
menuju ke sana tak semulus yang dibayangkan. Jalur menanjak dipenuhi deretan
kendaraan para pencari fajar, menciptakan kemacetan di tengah gelap yang
menusuk. Namun, rasa lelah itu segera sirna saat kami tiba di puncak. Matahari
perlahan muncul di ufuk timur, cahayanya menembus tipisnya kabut, menyapa
dinginnya udara pegunungan. Hamparan awan bagaikan lautan putih di bawah kaki
kami, sementara langit terbentang luas, bersih tanpa cela. Keindahan ini bukan
sekadar suguhan alam, tapi juga isyarat kebesaran Sang Pencipta, meneguhkan
dzikir di hati kami.
Destinasi
kedua adalah Kompleks Candi Arjuna, sebuah kawasan bersejarah yang memancarkan
pesona arsitektur masa lampau. Candi ini dikelilingi hamparan rumput hijau dan
udara sejuk khas Dieng, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan hati.
Keindahan alam berpadu dengan nilai sejarah, membuat tempat ini begitu memikat.
Jejak bisu sejarah yang berdiri kokoh melawan waktu. Candi-candi batu itu
berdiri tenang di tengah hamparan rumput hijau, diselimuti udara sejuk yang
menyegarkan. Sentuhan arsitektur klasiknya mengundang kekaguman, menghadirkan
imajinasi tentang masa lalu, di mana para leluhur pernah berdoa dan bermeditasi
di tempat suci ini. Suasana hening di antara reruntuhan candi seolah
mengajarkan kami tentang kefanaan dunia dan abadi-nya amal kebajikan.
Selanjutnya, kami mengunjungi Kawah Sikidang, sebuah kawah vulkanik aktif yang terkenal dengan semburan uap panasnya. Pemandangan di sini begitu mempesona, dengan asap belerang yang mengepul dari kawah, menciptakan suasana yang unik dan dramatis. Meskipun kawasan ini dipadati wisatawan, kami tetap menikmati pengalaman yang berbeda, merasakan sensasi berada di tengah aktivitas geotermal yang masih aktif. Asap putih itu mengepul dari kawah yang menggelegak, aroma belerang menyengat hidung, tapi tak mampu mengurangi kekaguman kami terhadap fenomena alam ini. Tanah di sekitar kawah tampak retak dan gersang, seperti lukisan abstrak karya alam. Berdiri di tengah aktivitas geotermal yang begitu nyata membuat kami merenung, betapa bumi ini hidup, bergerak, dan patuh pada hukum-hukum Allah yang tak terlihat.
CINCIN DI UJUNG KAWAH SEKIDANG
Ada kisah menarik yang terjadi saat aku hendak meninggalkan kawasan wisata Kitang. Pemandu mengarahkan kami keluar melalui lorong sempit yang dipenuhi deretan pedagang kaki lima. Suasana pasar itu riuh dengan warna-warni dagangan dan suara para penjual yang berlomba menarik perhatian. Aroma buah segar, rempah-rempah, dan belerang bercampur di udara, menciptakan nuansa khas pasar wisata.
Teman-temanku mulai sibuk memilih oleh-oleh. Ada yang membeli salak manis, ada yang menenteng sebungkus belerang, dan ada pula yang tergoda aneka kerajinan tangan. Aku? Sebagai seorang lajang tanpa seseorang khusus untuk diberi buah tangan, aku hanya berjalan santai, menikmati pemandangan tanpa niat membeli apa pun.
Namun, langkahku terhenti di sebuah sudut dekat pintu keluar. Seorang pria tua duduk di tikar lusuh, di depannya terhampar aneka perhiasan sederhana yang terbuat dari besi putih—kalung, gelang, cincin, dan anting-anting. Salah satu cincin di antara tumpukan itu menarik perhatianku. Cincin polos berwarna perak pudar dengan desain sederhana, namun entah mengapa seolah memanggilku.
Aku mencobanya. Pas di jari. Seperti sudah menantiku sejak lama.
"Berapa harganya, Pak?" tanyaku sambil mengamati kilau samar cincin itu di bawah cahaya matahari yang mulai condong.
"Tiga puluh ribu," jawab si bapak singkat. "Bisa kurang, Pak?" godaku, mencoba peruntungan.
Si bapak menggeleng tegas. "Harga pas mas".
Aku mengangguk dan menyerahkan uang tanpa banyak pikir. Sederhana, tapi ada rasa puas yang sulit dijelaskan.
"Haha....."Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar di belakangku. Suara yang aku sudah hafal suara siap ini. Aku menoleh cepat dan mendapati Hana—putri Bu Sumiyati—berdiri di sana bersama sang ayah dengan senyum geli yang sulit disembunyikan. Tatapan matanya penuh makna, seolah berkata, “Untuk apa seorang lelaki lajang membeli cincin?”
"Napain tertawa Han....?!? Suka suka aku lah..." . Jawabku gemas. "Kamu mau saya pakein ni cincin?!?!" Ledekku...
Nyengir dia, bertanda benci sambil merengut tak memberikan jawaban apapun. "Kapok lu suka ngledek aku sih...!! ". Coletehku dalam hati.
Aku hanya tersenyum tipis, pura-pura tak peduli. Tapi tawa itu seperti gema kecil yang terus terngiang saat aku melangkah keluar. Teman-temanku menambah riuh dengan celetukan-celetukan mereka.
"Wah, cincin tunangan, nih!" seru salah satu dari mereka sambil tertawa.
Aku hanya mengangkat bahu sambil menjawab "Yah semoga segera menjadi kenyataan(menikah)... Amin".
Biarlah mereka berkata apa saja. Bukan tentang untuk siapa cincin ini, tapi bagaimana perasaan yang muncul saat memakainya. Ada sesuatu yang sederhana namun berarti—sebuah kenangan kecil dari perjalanan ini, terpatri dalam lingkaran besi putih di jari manisku sampai sekarang.
Destinasi
keempat adalah Telaga Warna, sebuah danau yang terkenal karena fenomena
perubahan warna airnya akibat kandungan belerang. Kami menikmati pemandangan
telaga ini dari puncak Batu Ratapan Angin, sebuah spot yang menawarkan panorama
indah dari ketinggian. Dari sini, hamparan warna-warni Telaga Warna terlihat
begitu jelas, berpadu dengan hijaunya pepohonan di sekitarnya.
Perlu
diketahuai bahwa Batu Ratapan Angin, sebuah tebing yang menawarkan pemandangan
telaga dari ketinggian. Dari sana, gradasi warna air telaga terlihat begitu
jelas—hijau toska berpadu dengan biru dan kuning keemasan, menciptakan lukisan
alami yang memanjakan mata. Pepohonan rindang di sekitarnya melengkapi panorama
indah yang seolah tak ingin kami lupakan.
Sore
hari, Setelah seharian menjelajahi keindahan Dieng dan ketika matahari telah
mulai condong ke barat, kami meninggalkan Dieng, menuruni jalur berkelok menuju
Wonosobo. Saat waktu maghrib tiba, di kota sejuk ini, kami sempatkan
bersilaturahmi ke rumah seorang sahabat, menyambut kehangatan teh manis yang
disuguhkan bersama senyum ramah pemilik rumah. Suasana sederhana itu terasa
begitu hangat, mengikis sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang seharian.
Sekitar
pukul tujuh malam, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan di
Banjarnegara. Penginapan ini merupakan rumah milik Bu Sumiati, seorang teman
kami yang berasal dari Banjarnegara namun berdomisili di Bangkalan. Beliau
dengan ramah menyediakan tempat menginap selama kami berada di kawasan ini.
Kami
tiba di penginapan sekitar pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri,
melaksanakan salat, lalu beristirahat,
bersiap menyambut petualangan hari berikutnya.
Di
bawah langit Banjarnegara yang sunyi, kami menutup hari dengan syukur. Bukan
hanya karena keindahan alam yang telah kami saksikan, tetapi juga karena setiap
perjalanan ini telah mengikat persaudaraan kami lebih erat, menguatkan iman di
setiap langkah, dan mengajarkan bahwa di balik setiap perjalanan, selalu ada
pelajaran tentang hidup, alam, dan kebesaran Tuhan.
Hari Kedua: MENJELAJAHI
BATURADEN DAN CILACAP
Pada
tanggal 27 Januari 2025, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya,
yaitu Baturaden, yang terletak di Kabupaten Banyumas. Kawasan ini menawarkan
panorama alam pegunungan yang indah dengan udara yang sejuk. Fokus utama kami
di sini adalah menikmati pemandian air hangat.
Pemandian
air hangat di Batu Raden adalah destinasi yang sudah lama kami impikan sejak
merencanakan perjalanan ini. Bayangan air hangat yang mengalir dari perut bumi,
mengepul di tengah udara pegunungan yang sejuk, terasa begitu menggoda. Ini
adalah pengalaman yang langka—sesuatu yang tidak bisa kami temui di Madura,
tempat kami berasal.
Begitu
tiba di lokasi, Ibu Leni - bendahara negara- langsung membayarkan tiket masuk.
Melihat sumber air hangat, semangat kami meluap tak terbendung. Suasana riang
segera terasa ketika masing-masing dari kami sibuk menyiapkan baju ganti,
handuk, dan perlengkapan mandi. Tawa dan candaan kecil mengiringi langkah kami
menuju kolam pemandian yang sudah menunggu dengan uap tipis yang melayang di
permukaannya, seolah menyambut kedatangan kami.
Satu
per satu kami masuk ke dalam kolam air hangat. Begitu kaki menyentuh airnya,
sensasi hangat langsung merambat ke seluruh tubuh, mengusir dingin yang sempat
menggigit kulit. Tawa riuh terdengar di antara cipratan air, seolah beban perjalanan
yang melelahkan sebelumnya lenyap begitu saja.
Hari
itu, tanggal 27 Januari 2025, ternyata menjadi momen istimewa bagiku—ulang
tahunku. Sejujurnya, aku hampir melupakannya sendiri, sibuk dengan keseruan
perjalanan. Namun, rupanya teman-teman tidak. Mereka diam-diam menyimpan
rencana kecil.
Ketika
aku berdiri di pinggir kolam, ragu-ragu sebelum menurunkan kaki ke dalam air,
tiba-tiba—byur!—semburan air datang dari segala arah. Cipratan deras
menghujaniku tanpa ampun, disertai sorakan riang, "Selamat ulang tahun!
Mabruk, alfa mabruk!" Suara Oma Epi, Mbak Diyah, mbak Sava, mbak Bibah, Mbak Anis, bu Laili,
bu Elies, kang Riyan, kang Hayat, dan teman-teman lainnya bercampur menjadi
satu, penuh keceriaan.
Aku
terkejut luar biasa. Bukan hanya karena kejutan itu, tetapi juga karena aku
bukan tipe orang yang nyaman bermain air. Aku tidak bisa berenang dan selalu
berhati-hati setiap kali berada di dekat air. Namun, melihat tawa mereka yang
tulus, sulit rasanya untuk tidak ikut larut dalam kegembiraan. Meski sedikit
panik, aku tertawa, merasakan hangatnya bukan hanya dari air pemandian, tetapi
juga dari perhatian dan kasih sayang mereka.
Setelah
puas bermain air, suasana menjadi sedikit lebih tenang. Kami berendam santai,
menikmati sensasi hangat yang meresap hingga ke tulang. Di tengah keheningan
yang nyaman itu, Mbak Bibah tiba-tiba berkata, “Hei, teman-teman! Cobalah
berendam bergantian antara air hangat dan air dingin. Katanya bisa
menghilangkan risiko kanker.”
Aku
mengerutkan dahi, setengah percaya, setengah tidak. “Ah, beneran nggak tuh?”
tanyaku, menahan tawa. “Beneran, lho! Ada di Google,” jawab Mbak Bibah dengan
penuh keyakinan. Aku tertawa pelan. “Hemm... percaya Google lagi,” gumamku
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi untuk menyenangkan hati Bu Bibah, aku
akhirnya mencoba saran itu, dari setelah teman teman lain telah mencobanya satu
persatu.
Dengan
sedikit ragu, aku mengangkat kaki dari kolam air hangat, lalu mencelupkannya ke
kolam air dingin di sebelahnya. Sensasinya? Seperti aliran listrik kecil yang
menjalar cepat di kulitku. “Wah, cekit-cekit kayak kesetrum, ya?” seruku sambil
tertawa. Teman-teman yang mendengar langsung tertawa serempak. “Iya, bener,
kayak kesetrum, cekit cekit” sahut mereka. "Ada bernarnya juga mbak
Bibah" gumamku.
Kami
terus bermain-main dengan sensasi itu, berendam bergantian antara air panas dan
dingin, sambil saling melempar komentar lucu. Seolah-olah kami kembali menjadi
anak-anak, bebas dari beban dan hanya menikmati kebersamaan.
Setelah
puas berendam, kami bergegas berganti pakaian, mengemasi barang-barang, dan
bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Meski sederhana, hari itu penuh dengan
tawa, kejutan, dan kebahagiaan yang hangat—bukan hanya dari air pemandian Batu
Raden, tetapi juga dari hati kami yang saling terhubung dalam persahabatan yang
tulus. Setelah lelah dari perjalanan panjang sebelumnya, berendam di air hangat
ini menjadi pengalaman yang menyegarkan dan melegakan tubuh.
Selesai
menikmati pemandian air hangat, kami melanjutkan perjalanan menuju Cilacap
untuk bersilaturahmi ke rumah saudara Mbak Safa. Perjalanan dari Baturaden ke
Cilacap memakan waktu sekitar dua jam. Setibanya di sana, kami disambut dengan
hangat, melanjutkan momen kebersamaan yang penuh keakraban.
Menjelang
malam, sekitar pukul delapan, kami kembali ke penginapan di rumah Bu Sumiati.
Sesampainya di sana, kami membersihkan diri, beristirahat, dan bersiap untuk
melanjutkan petualangan berikutnya di hari-hari selanjutnya.
Hari ke Tiga : MENYUSURI
KEINDAHAN ALAM DESA PIASA ETAN BANJARNEGARA
Memasuki
hari ketiga, tanggal 28 Januari 2025, perjalanan rihlah kami berlanjut dengan
suasana yang lebih santai dan penuh keakraban. Kali ini, kami memutuskan untuk
mengeksplorasi keindahan alam di sekitar tempat kami menginap, yaitu di Desa
Piasa Etan dan Piasa Kulon. Udara pagi di desa ini terasa begitu segar,
menyambut kami dengan hamparan hijau yang menyejukkan mata.
Fajar
perlahan menyingkap selimut malam, menebarkan cahaya lembut yang mengintip di
balik pepohonan. Udara pagi Desa Piasa Etan dan Piasa Kulon begitu segar,
menusuk hidung dengan aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja disapa
embun.
Kami
bangun dengan semangat baru. Suasana desa yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk
kota, membuat hati terasa lapang. Tuan rumah yang ramah menyambut kami dengan
senyum hangat, mempersilakan kami menjelajahi kebun mereka yang luas. Hamparan
hijau memanjakan mata, dihiasi pohon durian yang menjulang kokoh, pohon jeruk
sarat buah ranum, kelapa yang bergoyang pelan ditiup angin, serta aneka tanaman
buah lainnya.
Kegiatan
pertama kami adalah memancing di kolam ikan milik tuan rumah. Air kolam yang
jernih memperlihatkan ikan nila dan lele berenang lincah, seolah menantang kami
untuk mencoba peruntungan. Aku, Mas Hayat, dan Mas Riyan yang sama-sama masih
jomblo, tiba-tiba terjebak dalam kompetisi kecil—siapa yang berhasil menangkap
ikan duluan.
Di
ujung kolam, terdengar sorakan riang dari ibu-ibu yang pelopori Bu Epi, bu lies
bu Laili dan Bu Leni. "Ayo, siapa yang dapat ikan duluan, bakal dapat
putri tuan rumah!" teriak mereka bercanda. Memang kebetulan, tuan rumah
mempunyai gadis dewasa bernama Hana yang sekarang lagi menempuh pendidikan
kebidanan semseter akhir. Tawa kami pecah, dan entah kenapa, motivasi untuk
menang jadi berlipat ganda.
Riyan
sempat berhasil, kailnya mengait seekor ikan ukuran sedang, namun malang, si
ikan licin itu meloloskan diri entah kemana berlari. Aku terus mencoba, menahan
sabar, hingga akhirnya… strike! Seekor ikan lumayan besar tersangkut di kailku.
Aku mengangkatnya dengan penuh kemenangan. Mas Hayat yang penasaran tak tinggal
diam. Ia mencoba berbagai cara, dari mengubah umpan hingga mengatur ulang
posisi kail, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, dia menyerah. "Yah, akulah
juaranya!" seruku, tertawa puas.
Namun,
satu ekor ikan jelas tak cukup untuk sarapan dua puluh orang. Kami mulai
kehilangan kesabaran. Untungnya, Pak Hasidin, suami Bu Sumiati, datang membawa
jala. Dengan sekali lempar, jala itu menangkap puluhan ikan besar. Kami girang
bukan main, buru-buru mengamankan hasil tangkapan ke dalam karung.
Setelah
itu, para lelaki—termasuk aku—berpikir sudah bisa bersantai. Kami duduk-duduk
di sudut penginapan, menikmati angin sepoi-sepoi sambil ngobrol ringan. Tapi,
kesenangan kami tak bertahan lama. Sebuah pesan suara menggelegar di grup
WhatsApp: "Hoi, orang-orang laki, di mana kalian? Ayo bakar ikan
buat sarapan, cepat!" Itu suara Mbak Diyah, yang dalam kelompok kami
dijuluki "komandan perang." Suaranya cukup untuk membuat kami
terpental dari posisi santai, bergegas menuju lantai dua penginapan tempat alat
panggang sudah disiapkan.
Namun,
di sinilah kekonyolan dimulai. Kami berdiri melingkari tungku, menatap arang
seolah itu teka-teki sulit. Mas Hayat dan Pak Hanapi mencoba menyalakan arang dengan tetesan
plastik. Bau menyengat langsung memenuhi udara.
Tiba-tiba,
Bu Bibah, kepala sekolah yang dikenal tegas, muncul dengan ekspresi tak
percaya. "Kok gitu sih cara nyalain arang? Bukan begitu caranya!"
serunya, melotot sambil memberi demonstrasi singkat. Kami semua hanya bisa
bengong, seperti anak-anak yang ketahuan berbuat nakal. Akhirnya, dengan arahan
Bu Bibah, arang pun menyala sempurna.
Aroma
ikan bakar perlahan memenuhi udara, memanggil siapa saja yang mencium untuk
mendekat. Daging ikan yang menghitam di beberapa bagian, berpadu sempurna
dengan bau khas arang panas. Setelah semua ikan berhasil kami bakar. Lanjut
kami duduk melingkar, menikmati hasil jerih payah kami dengan nasi hangat dan
sambal khas Banjarnegara hasil masakan tuan rumah.
Petualangan
belum selesai. Setelah sarapan, kami diajak memetik durian langsung dari
pohonnya. Momen ini jadi puncak kegembiraan. Tuan rumah memang memberikan
service kepada kami dengan totalitas. Durian yang sejatinya dapat mereka jual
dengan menghasilkan puluhan juta, nyatanya tidak mereka jual, namun mereka
mengihlaskan untuk jamuan para tamunya dari Madura. Subhanallah. Setiap kali
duduk bersama, baik saat sarapan maupun makan siang, durian montong yang legit
selalu hadir di meja. Dagingnya tebal, manis, dan lembut, membuat kami tak bisa
berhenti mengunyah.
Selain
durian, kami juga memetik jeruk segar. Sensasi memetik sendiri buah dari
pohonnya, lalu menikmatinya di bawah rindang dedaunan, adalah pengalaman yang
sederhana namun membekas di hati. Selama dua hari dua malam di sini, hampir
semua yang kami makan berasal dari kebun tuan rumah. Rasanya, kebersamaan ini
bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang kenangan yang kelak akan kami
ceritakan dengan tawa yang sama riuhnya.
Begitulah
hari ketiga kami berlalu—penuh tawa, kehangatan, dan kebersamaan yang tak ternilai
harganya. Menjelang siang, sekitar pukul 11.00, kami bersiap melanjutkan
perjalanan menuju destinasi berikutnya, yaitu Pantai Jetis Porworjo yang
terletak di pesisir selatan. Perjalanan dari Banjarnegara memakan waktu sekitar
2 hingga 3 jam.
KEINDAHAN PANTAI JETIS
PORWORJO
Setibanya
di Pantai Jetis, kami disambut panorama yang memukau. Hamparan pasir hitam yang
lembut membentang luas, berpadu dengan deburan ombak Samudra Hindia yang gagah.
Angin laut berhembus kencang, membawa aroma khas lautan yang menenangkan.
Barisan pohon cemara di sepanjang pantai menambah kesan eksotis, memberikan
keteduhan di tengah teriknya matahari. Suasana pantai yang tenang membuat kami
betah berlama-lama, menikmati keindahan alam yang memesona ini.
Langit
cerah menyambut kedatangan kami di Pantai Jetis, Purworejo. Matahari
menggantung tinggi, memancarkan sinarnya yang hangat di atas hamparan pasir
hitam yang membentang luas. Deburan ombak Samudra Hindia terdengar menghujam,
mengiringi hembusan angin laut yang membawa aroma asin khas lautan—sebuah
perpaduan yang menenangkan hati dan pikiran. Di kejauhan, barisan rumah rumah
kecil gazebo berdiri tegak, melambai
pelan seolah turut menyambut kedatangan kami, memberikan keteduhan di tengah
teriknya siang.
Kami
melangkah ke bibir pantai, membiarkan kaki kami tenggelam dalam pasir lembut
yang hangat. Suasana tenang dan damai membuat waktu seolah melambat.
Masing-masing dari kami tenggelam dalam dunia kecilnya sendiri, menikmati
keindahan alam dengan cara yang berbeda. Bu Nyai Afri duduk santai di sebuah
gazebo bersama Hana, menikmati segarnya kelapa muda yang baru saja aku belikan.
Senyum puas terpancar di wajah mereka, seolah kelapa muda itu menjadi pelengkap
sempurna di bawah langit biru yang membentang luas.
Di
sudut lain, Riyan dan Saif duduk berdua di gazebo yang menghadap langsung ke
laut. Mereka terdiam, tatapan kosong menembus cakrawala, seolah sedang
merenungi sesuatu yang hanya mereka sendiri yang tahu. Mungkin tentang hidup,
cinta, atau sekadar melamunkan angan-angan yang terbawa angin laut.
Aku
dan Hayat, dengan semangat yang tak kalah riang, mencoba berbagai gaya untuk
berfoto dan merekam video ala model majalah. Kadang kami tertawa terbahak-bahak
melihat hasil foto yang konyol, kadang berpose serius seolah-olah sedang
menjalani pemotretan profesional. Tidak jauh dari kami, sekelompok emak-emak
rombongan terlihat asyik mengendarai motor ATV. Tawa mereka pecah membahana,
seolah mereka kembali menjadi anak SMA yang bebas tanpa beban, melupakan
sejenak bahwa di rumah mereka telah memiliki cucu yang menunggu.
Setelah
puas bermain, kami berkumpul di satu titik, menggelar tikar di bawah naungan
pohon cemara. Angin sore mulai berhembus lebih lembut, membawa ketenangan
setelah tawa dan canda yang mengisi siang kami. Tak lama kemudian, Pak Hasidin
datang menghampiri kami dengan senyum lebar, membawa satu keranjang penuh
berisi durian. Aroma khas durian langsung memenuhi udara, memancing antusiasme
kami yang sudah lelah bermain.
Kami duduk melingkar, membelah durian satu per satu. Tangan-tangan kami berebut mengambil daging buah yang kuning keemasan, manis legit, dan lembut di lidah. Setiap suapan menghadirkan sensasi kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan melalui senyum lebar dan tawa kecil yang tak henti terdengar.
Di tengah sederhananya momen
itu, kami menemukan kebahagiaan. Bukan dari kemewahan tempat atau hidangan
mahal, melainkan dari tawa bersama, kehangatan persahabatan, dan kenangan indah
yang tercipta di tepi Pantai Jetis yang memesona ini.
Setelah
puas menikmati Pantai jetis, sekitar pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan
menuju Kebumen. Tujuan kami adalah bersilaturahmi ke Pesantren Al Mujtaba
asuhan Ustadz Hafit. Perjalanan ini berlangsung lancar, dan kami tiba sekitar
pukul 17.00. Setibanya di sana, kami beristirahat sejenak sebelum melaksanakan
salat Maghrib dan Isya secara berjamaah, menambah ketenangan spiritual di
tengah rihlah kami.
Malam
harinya, sekitar pukul 19.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta.
Perjalanan ini menjadi penutup hari yang penuh kebersamaan, keindahan alam, dan
hangatnya silaturahmi. Rihlah ini tak sekadar perjalanan, melainkan pengalaman
berharga yang mempererat tali persaudaraan di antara kami.
Hari ke Empat : JOGJA - SOLO
MENINGGALKAN KENANGAN
Selepas
bersilaturahmi di Pesantren Al Mujtaba Kebumen, sekitar pukul 19.00, kami
melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Suasana malam di sepanjang perjalanan
terasa tenang, ditemani obrolan santai dan tawa ringan di dalam kendaraan.
Sekitar pukul 23.00, kami tiba di Yogyakarta dan langsung menuju kawasan
Malioboro, ikon wisata malam yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk para
pelancong.
Di
Malioboro, kami menikmati suasana malam yang penuh warna. Lampu-lampu jalan
yang berpendar terang menambah kesan magis, berpadu dengan aroma jajanan khas
yang menggoda. Beberapa dari kami asyik berburu oleh-oleh, membeli kerajinan
tangan, kaos khas Jogja, hingga aksesoris unik. Ada pula yang mencicipi minuman
hangat wedang ronde, menghangatkan tubuh di tengah sejuknya malam. Suasana kebersamaan
begitu terasa, penuh canda tawa yang menghapus lelah perjalanan.
Sekitar
pukul 00.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Solo. Jalanan yang lengang
membuat perjalanan terasa lebih cepat, dan kami tiba di Solo sekitar pukul
03.00 dini hari. Di sana, kami singgah di rumah Bu Diah, kakak kandung dari
sahabat perjalanan kami, Bunda Nyai Afriasyatin. Di rumah yang hangat ini,
sebagian dari kami beristirahat sejenak, ada yang membersihkan diri, mandi, dan
ada pula yang melanjutkan tidur untuk mengisi energi sebelum melanjutkan
rihlah.
Tak
lama berselang, menjelang subuh, kami berangkat menuju Masjid Sheikh Zayed,
masjid ikonik di Kota Solo yang menjadi daya tarik baru bagi wisatawan.
Arsitekturnya yang megah dan elegan menciptakan suasana khusyuk saat kami
melaksanakan salat subuh berjamaah. Sejuknya udara pagi dan keindahan masjid
ini membuat hati kami tenteram, menghadirkan rasa syukur atas setiap langkah
perjalanan.
Usai
salat subuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Kembang untuk menikmati sarapan
sederhana namun istimewa. Di sana, kami mencicipi bubur kacang hijau hangat
milik Pak No, seorang kakak saya yang berjualan di pasar tersebut. Bubur kacang
hijaunya yang gurih manis, berpadu dengan santan hangat, menjadi pengisi energi
yang sempurna untuk memulai hari.
Setelah
itu, kami bergerak menuju Pasar Palur untuk berbelanja kebutuhan kecil sebagai
oleh-oleh tambahan. Tak lama di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju
Sragen, tepatnya di Dukuh Pilangbangu, Kelurahan Sepat, Kecamatan Masaran,
Sragen—kampung halaman saya (penulis) sendiri.
Di
rumah, keluarga saya menyambut dengan hangat. Suasana silaturahmi begitu akrab,
penuh kehangatan dan canda tawa. Kami disuguhi aneka hidangan khas, seperti
soto hangat dengan kuah gurih, serta sayur lodeh yang lezat, menggugah selera
di pagi yang cerah. Kebersamaan ini menjadi momen berharga yang tak hanya
mengisi perut, tetapi juga mengikat erat tali persaudaraan di antara kami.
Sekitar
pukul 10.00, perjalanan kami berlanjut menuju destinasi terakhir: Kebun Teh
Kemuning di Karanganyar. Udara sejuk khas pegunungan menyambut kedatangan kami.
Hamparan kebun teh yang hijau membentang sejauh mata memandang, menghadirkan
ketenangan dan keindahan ciptaan Allah yang luar biasa. Kami menikmati setiap
momen di sana, mengabadikan pemandangan yang menawan sambil merenungi kebesaran
Allah dalam setiap helai daun teh yang terhampar rapi.
Menjelang
tengah hari, sekitar pukul 12.00, kami turun kembali ke Sragen kota untuk
melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara jama' di Masjid Al-Falah, Sragen.
Suasana masjid yang tenang memberi kami kesempatan untuk merenung sejenak,
mensyukuri nikmat perjalanan yang telah kami lalui.
Sebelum
benar-benar menutup perjalanan, kami sempatkan makan siang di warung Sate
Kambing Mungkung, menikmati potongan daging kambing yang empuk dan bumbu kecap
yang meresap sempurna, menjadi santapan penutup yang nikmat.
Sekitar
pukul 15.00, kami berangkat pulang menuju Surabaya. Perjalanan panjang ini
penuh dengan kenangan, obrolan santai, dan refleksi diri. Alhamdulillah, berkat
rahmat dan perlindungan Allah Ta’ala, kami tiba dengan selamat di Kamal,
Bangkalan, sekitar pukul 20.00 malam.
SI LAKON DALAM PERJALANAN
Dalam
setiap komunitas atau perjalanan bersama, selalu ada sosok yang secara tidak
resmi menjadi "lakon" utama—seseorang yang kehadirannya menciptakan
warna tersendiri, menjadi bumbu penyedap dalam setiap kisah yang terjalin.
Dalam perjalanan rihlah kami ke Baradaya dari Jawa Tengah, peran itu tanpa
diragukan lagi jatuh kepada Mas Hayat.
Mas
Hayat adalah sosok yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Bukan karena prestasi
luar biasa atau kisah heroiknya, melainkan karena keunikan yang melekat pada
dirinya—seorang pria lajang, singgil, dan masih setia menunggu takdir jodoh
yang entah kapan menghampirinya. Statusnya sebagai jomblo inilah yang
menjadikannya bahan candaan sepanjang perjalanan. Setiap kali obrolan tentang
perjodohan mencuat di dalam bus, nama Mas Hayat selalu menjadi topik utama,
diiringi gelak tawa yang tak pernah gagal mencairkan suasana.
Rombongan
kami terdiri dari 20 orang, berdesakan penuh keceriaan dalam sebuah bus yang
dikomandani oleh sosok tegas nan cerewet: Bunda Pipit, atau yang akrab disapa
Mbak Diyah. Beliau adalah "komandan perang" dalam setiap perjalanan,
memastikan semua berjalan sesuai rencana, mulai dari jadwal keberangkatan
hingga disiplin di setiap pemberhentian. Suaranya yang lantang menjadi alarm
bagi kami semua, terutama bagi kaum laki-laki yang kerap terlena oleh waktu.
Namun,
sekeras apa pun Bunda Dia berteriak, ada satu nama yang selalu menjadi
"pasien tetap" dalam urusan keterlambatan: siapa lagi kalau bukan Mas
Hayat. Entah bagaimana, meski sudah diperingatkan berkali-kali, dia selalu
punya alasan untuk datang terlambat. Kadang karena sibuk mencari barang yang
tertinggal, kadang karena alasan sepele seperti lupa memasang alarm. Tapi di
balik semua itu, justru di sanalah letak pesona kisah perjalanan kami.
Salah
satu momen pula yang tak terlupakan adalah ketika Mas Saif ketahuan diam-diam
buang air kecil di dalam bus. IYa, benar—di dalam bus lho! Hmmm..... Dengan
penuh "strategi", dia menyelinap ke pojok belakang, berpura-pura duduk
tenang sambil menunduk. Rupanya, di balik ketenangan itu, dia tengah berjuang
menuangkan "hajat" kecilnya ke dalam sebuah botol mineral. Begitu
aksinya terbongkar, sontak seisi bus meledak dalam tawa. Bahkan mbak Diya yang
biasanya tegas pun tak mampu menahan geli, meskipun tetap mengomel panjang
lebar setelahnya. Oma Epik juga tak henti hentinya menertawakan ulah si Saif.
Tak
berhenti di situ, setiap kali bus melaju, selalu saja ada lelucon baru yang
melibatkan Mas Hayat. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan retoris seperti,
"Mas Hayat, kapan kawen?" hingga sindiran-sindiran ringan soal
"koleksi cewek" fiktifnya yang konon tak terhitung jumlahnya.
Padahal, sejujurnya, kami semua tahu bahwa kisah cinta Mas Hayat tidak
sekompleks yang dibicarakan—justru karena itulah candaan itu semakin
menggelikan.
Namun
di balik semua olok-olok dan gelak tawa, ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
Mas Hayat bukan sekadar bahan candaan; dia adalah perekat yang menyatukan tawa
kami, sosok yang membuat perjalanan panjang terasa lebih ringan dan penuh
warna. Tanpa kehadirannya, mungkin perjalanan kami akan berjalan datar, tanpa
cerita-cerita konyol yang bisa dikenang bertahun-tahun kemudian.
Setiap
kali kami mengingat perjalanan itu, nama Mas Hayat selalu muncul di antara tawa
yang tak pernah basi. Bukan karena kekurangannya, tapi justru karena keunikan
dan ketulusannya menjalani peran sebagai "lakon tak resmi" dalam
kisah rihlah yang tak akan pernah kami lupakan. We love you mas
Hayat....hehe...
RIYAN SI "Papa" DALAM
PERJALANAN
Selain
Mas Hayat yang kerap menjadi pusat perhatian dalam perjalanan rihlah kami kali
ini, ada satu lagi sosok yang tak kalah mencuri perhatian—Rian. Mahasiswa
semester enam ini, dengan sikap santainya yang khas, justru menjadi "lakon
tak terduga" dalam kisah perjalanan kami yang penuh warna ini.
Semua
bermula dari kedekatannya dengan Fatir, putra kecil Mbak Syafa yang baru
berusia dua tahun. Entah karena naluri keayahan yang tak disadarinya, atau
sekadar dorongan kepedulian, Rian dengan sabar membantu Fatir sepanjang
perjalanan. Ia rela menggendongnya saat kaki kecil itu mulai lelah melangkah,
mengantarkannya ke kamar mandi saat si kecil ingin buang air, bahkan
menenangkan Fatir ketika rewel di tengah perjalanan panjang.
Perhatian
tulus itu ternyata membuat Fatir merasa nyaman. Hingga suatu ketika, di dalam
bus, terdengarlah suara kecil yang menggemaskan memanggil, “Papa... Papa!”. Awalnya,
kami mengira Fatir memanggil ayahnya. Namun, betapa terkejutnya kami saat
melihat Fatir meraih tangan Rian sambil terus mengulang panggilan itu, “Papa...
Papa!” Seisi bus sontak meledak dalam tawa. Bayangkan saja, seorang mahasiswa
muda, yang masih sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, tiba-tiba mendapat
‘gelar baru’ sebagai Papa—sebuah panggilan yang biasanya melekat pada sosok
pria dewasa beranak.
“Eh,
Fatir! Ayo panggil lagi. Siapa ini?” goda Bunda Leni sambil menunjuk ke arah
Rian yang hanya bisa nyengir kuda, menahan malu yang tercampur tawa. “Papa!”
jawab Fatir tanpa ragu, seolah meyakinkan seluruh dunia bahwa Rian memang
papanya.
Godaan
demi godaan tak berhenti di situ. Teman-teman tak melewatkan kesempatan untuk
terus mengusik Rian. “Wah, Mas Rian! Cepat amat kariernya, masih semester enam
udah jadi Papa,” seru yang lain disambut gelak tawa yang memenuhi bus.
Mbak
Syafa, sang ibu Fatir, pun tak kalah kocak dalam menanggapi. Sambil tertawa ia
berkata pada putranya, “Nak, nanti kalau sudah di rumah, jangan panggil Mas
Rian ‘Papa’ lagi, ya. Nanti dikira beneran sama Ayahmu. Bisa panjang urusannya,
lho!”.
Tawa
meledak lebih keras. Rian hanya bisa menggeleng, wajahnya memerah menahan malu,
meski senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Ia mencoba bersikap santai, tetapi
jelas terlihat bagaimana godaan itu membuatnya salah tingkah.
Namun
di balik semua candaan itu, ada kehangatan yang tak terbantahkan. Panggilan
Papa yang keluar dari mulut mungil Fatir bukan sekadar lelucon, melainkan cermin
dari kedekatan yang terjalin selama perjalanan. Keakraban tanpa batas usia,
murni lahir dari perhatian kecil yang tulus.
Perjalanan
ini mungkin hanya berlangsung empat hari empat malam, tetapi kisah Rian si
“Papa” dadakan akan terus menjadi bagian dari memori manis yang kami bawa
pulang. Sebuah pengalaman sederhana yang menghadirkan tawa, kehangatan, dan
tentu saja, cerita yang akan terus diceritakan berulang kali dalam setiap
pertemuan kami selanjutnya.
HIKMAH DAN PESAN
Di akhir perjalanan, kami sadar bahwa rihlah ini bukan sekadar "jalan-jalan". Ia adalah perjalanan hati, menambah iman, dan menguatkan paseduluran. Sebuah kisah yang akan selalu kami bawa, meski kaki telah melangkah pulang.
Semoga
setiap langkah yang kami tapaki, setiap tawa yang kami bagi, dan setiap
keindahan alam yang kami nikmati menjadi berkah dan rahmat dari Allah Ta’ala.
Semoga rihlah ini menambah rasa syukur, mempererat silaturahmi, dan menumbuhkan
kecintaan kami terhadap ciptaan Allah yang begitu indah. Terima kasih atas kebersamaan
yang luar biasa ini. Kita jumpa lagi di momen bahagia berikutnya. Insya Allah.
==================
Penulis : Mas Eiruel Amirudin
Aktor : Afri A, Eiruel, Hanapi, Epik, Bibah, Anis, Safa, Fatir, Lili, Lies, Asmawati, Diyah, Leni, Hayat, Solikin, Saif, dan Riyan.
Ditulis di : Malang , Ahad 2 Februari 2025
![]() |
Candi Arjuno Dieng |