Minggu, 02 Februari 2025

RIHLAH MATA DAN RIHLAH HATI

 

JALAN JALAN NAMBAH IMAN NGUWATKE PASEDULURAN

(Sebuah perjalanan rihlah mengesankan di barat daya jawa tengah yang meliputi kota : Dieng, Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Porwakarta, Jogja, Solo, Karanganyar dan Sragen).


AWAL SEBUAH PERJALANAN

Sabtu  malam Ahad, 25 Januari 2025. Malam itu, langit Kamal, Bangkalan, dihiasi bintang-bintang yang malu-malu menampakkan cahayanya lantaran agak sedikit mendung. Angin berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut yang tak jauh dari tempat kami berkumpul—di Graha Azizah, pusat dakwah Yayasan Jauharul Ummah. Suasana penuh harap dan semangat terasa kental di antara kami, dua puluh orang sahabat dari Madrasah Miftahul Ma’arif (MIFARIF), bersiap memulai sebuah perjalanan rihlah yang tak sekadar untuk melepas penat, melainkan juga menambah iman dan mempererat persaudaraan.

Sebelum roda bus berputar meninggalkan tanah Madura, kami menggelar shalat Isya berjamaah. Suasana hening, khusyuk, seolah menjadi pertanda baik untuk perjalanan ini. Setelah salam terakhir diucapkan, doa bersama dipanjatkan, melangitkan harapan agar Allah meridhai setiap langkah kami, melindungi dari mara bahaya, dan memberkahi perjalanan ini dengan pengalaman berharga.

Tepat pukul tujuh malam, mesin bus meraung pelan, menandai dimulainya petualangan kami menuju Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Di dalam bus, suasana riuh rendah. Tawa dan obrolan ringan menjadi teman perjalanan, mengalahkan rasa kantuk yang perlahan menghampiri. Lampu-lampu kota berganti pemandangan gelap khas jalan antarprovinsi, ditemani kelap-kelip lampu kendaraan lain yang melaju seirama dengan kami.

Hari Pertama : DIENG MENYAMBUT PAGI

Setelah menempuh perjalanan sekitar sembilan jam, tibalah kami di Dieng. Udara dingin langsung menyergap begitu kaki menginjak tanah dataran tinggi ini. Hembusan angin pagi mengandung aroma khas pegunungan—segar, murni, dan sedikit menusuk hidung. Kami disambut seorang pemandu wisata yang telah menunggu, wajahnya ramah meski pagi masih enggan beranjak dari gelap.

Tanpa membuang waktu, usai sholat subuh, empat unit jeep telah disiapkan, menanti untuk membawa kami menaklukkan medan pegunungan Dieng. Angin subuh merayap masuk melalui celah-celah jendela jeep, menggigit kulit namun justru memompa adrenalin. Kami memulai perjalanan menuju salah satu puncak tertinggi, berharap dapat menyaksikan matahari terbit yang melegenda.

Namun, harapan tak selalu mulus. Jalur menuju puncak dipenuhi kendaraan wisatawan lain. Lampu-lampu mobil berjejer seperti ular cahaya yang meliuk di lereng gunung. Macet. Kami tertahan di tengah jalur, terperangkap di antara semangat dan kenyataan. Tapi siapa peduli? Justru di situlah letak keseruannya. Canda tawa, gurauan ringan, bahkan keluhan kocak dari teman-teman membuat perjalanan yang macet pun menjadi kisah yang tak terlupakan.

Tantangan kami tak berhenti di situ. Saat antrian mulai bergerak pelan di jalan yang menanjak curam, tiba-tiba brukk!—jeep yang kami tumpangi mogok di tengah tanjakan. Kepanikan kecil menyelimuti kami. Posisi jeep yang berhenti mendadak di jalur sempit, diapit kendaraan lain di depan dan belakang, membuat situasi sedikit menegangkan. Ditambah lagi jalan yang miring, membuat kami merasa seolah-olah jeep bisa meluncur mundur kapan saja.

Sopir kami mencoba berkali-kali menyalakan mesin, namun sia-sia. Suara mesin hanya berdehem pelan sebelum akhirnya diam. Di tengah kebingungan, seorang petugas kepolisian yang sedang mengatur lalu lintas datang menghampiri. Dengan sigap, ia membantu mengarahkan kami untuk memundurkan jeep perlahan-lahan, menghindari kendaraan di belakang. Proses ini tidak mudah—maju sedikit, mundur perlahan, mengatur posisi agar tidak tergelincir. Keringat dingin bercampur adrenalin, namun akhirnya mesin berhasil menyala kembali.

Belum sempat lega sepenuhnya, ujian berikutnya menanti. Tak jauh dari puncak, tepat saat semangat kami hampir mencapai titik tertinggi, jeep itu mogok lagi. Kali ini lebih parah. Jalan semakin curam, udara semakin dingin, dan saya—satu-satunya laki-laki di dalam jeep—harus turun untuk membantu. Perlu diketahui bahwa penumpang pada jeep kami, semuanya adalah ibu ibu: Ibu Nyai Afri Asiatin, Ibu Diyah dan Ibu Lies. Bersama sopir yang memegang kendali sopir, saya mendorong jeep yang beratnya terasa dua kali lipat karena beban dan kemiringan jalan, belum lagi beban dari emak emak yang berpostur jumbo masih nengkring di atas jeep. Tapi aku bahagia, aku tidak mengeluh,  bahkan yang ada dalam diriku adalah bangga, karena aku merasa bag supermen yang datang memberi bantuan saat dibutuhkan.  Sesekali saya juga harus mengganjal ban dengan batu agar jeep tidak meluncur mundur. Dingin yang menusuk tulang bercampur peluh yang mengalir di dahi, tapi justru di situlah letak kehangatan dan keasikanya.

Akhirnya, setelah beberapa kali mencoba, mesin jeep kembali menyala. Sorak kecil keluar dari mulut kami, seolah-olah baru saja memenangkan perlombaan. Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak dengan hati yang lebih ringan.

Dan meskipun lelah, penuh tantangan, kami bahagia. Sebab perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai puncak, tetapi tentang bagaimana kami saling mendukung di setiap tanjakan, setiap mogok, dan setiap tawa yang tercipta di antaranya.

DESTINASI WISATA DIENG

Udara dingin yang menggigit menyambut langkah pertama kami di Dataran Tinggi Dieng. Aroma tanah basah bercampur kabut tipis menguar, menandai awal petualangan yang tak sekadar perjalanan wisata, tetapi sebuah rihlah jiwa, menguatkan iman dan meneguhkan persaudaraan.

Di Dieng, kami memiliki empat destinasi wisata utama yang menjadi sasaran kunjungan. Empat destinasi tersebut telah menunggu kami, seolah senyum memanggil-manggil dari kejauhan. Destinasi pertama adalah Pintu Langit, tempat kami menargetkan untuk menikmati keindahan matahari terbit. Pintu Langit menjadi tujuan pertama karena tempat ini akan menjadi harapan kami untuk menyaksikan keindahan si mungil surya yang baru keluar dari persembunyianya, ia akan melukis langit dengan semburat jingga dan emas mempesona.

Perjalanan menuju ke sana tak semulus yang dibayangkan. Jalur menanjak dipenuhi deretan kendaraan para pencari fajar, menciptakan kemacetan di tengah gelap yang menusuk. Namun, rasa lelah itu segera sirna saat kami tiba di puncak. Matahari perlahan muncul di ufuk timur, cahayanya menembus tipisnya kabut, menyapa dinginnya udara pegunungan. Hamparan awan bagaikan lautan putih di bawah kaki kami, sementara langit terbentang luas, bersih tanpa cela. Keindahan ini bukan sekadar suguhan alam, tapi juga isyarat kebesaran Sang Pencipta, meneguhkan dzikir di hati kami.

Destinasi kedua adalah Kompleks Candi Arjuna, sebuah kawasan bersejarah yang memancarkan pesona arsitektur masa lampau. Candi ini dikelilingi hamparan rumput hijau dan udara sejuk khas Dieng, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan hati. Keindahan alam berpadu dengan nilai sejarah, membuat tempat ini begitu memikat. Jejak bisu sejarah yang berdiri kokoh melawan waktu. Candi-candi batu itu berdiri tenang di tengah hamparan rumput hijau, diselimuti udara sejuk yang menyegarkan. Sentuhan arsitektur klasiknya mengundang kekaguman, menghadirkan imajinasi tentang masa lalu, di mana para leluhur pernah berdoa dan bermeditasi di tempat suci ini. Suasana hening di antara reruntuhan candi seolah mengajarkan kami tentang kefanaan dunia dan abadi-nya amal kebajikan.

Selanjutnya, kami mengunjungi Kawah Sikidang, sebuah kawah vulkanik aktif yang terkenal dengan semburan uap panasnya. Pemandangan di sini begitu mempesona, dengan asap belerang yang mengepul dari kawah, menciptakan suasana yang unik dan dramatis. Meskipun kawasan ini dipadati wisatawan, kami tetap menikmati pengalaman yang berbeda, merasakan sensasi berada di tengah aktivitas geotermal yang masih aktif. Asap putih itu mengepul dari kawah yang menggelegak, aroma belerang menyengat hidung, tapi tak mampu mengurangi kekaguman kami terhadap fenomena alam ini. Tanah di sekitar kawah tampak retak dan gersang, seperti lukisan abstrak karya alam. Berdiri di tengah aktivitas geotermal yang begitu nyata membuat kami merenung, betapa bumi ini hidup, bergerak, dan patuh pada hukum-hukum Allah yang tak terlihat.

CINCIN DI UJUNG KAWAH SEKIDANG

Ada kisah menarik yang terjadi saat aku hendak meninggalkan kawasan wisata Kitang. Pemandu mengarahkan kami keluar melalui lorong sempit yang dipenuhi deretan pedagang kaki lima. Suasana pasar itu riuh dengan warna-warni dagangan dan suara para penjual yang berlomba menarik perhatian. Aroma buah segar, rempah-rempah, dan belerang bercampur di udara, menciptakan nuansa khas pasar wisata.

Teman-temanku mulai sibuk memilih oleh-oleh. Ada yang membeli salak manis, ada yang menenteng sebungkus belerang, dan ada pula yang tergoda aneka kerajinan tangan. Aku? Sebagai seorang lajang tanpa seseorang khusus untuk diberi buah tangan, aku hanya berjalan santai, menikmati pemandangan tanpa niat membeli apa pun.

Namun, langkahku terhenti di sebuah sudut dekat pintu keluar. Seorang pria tua duduk di tikar lusuh, di depannya terhampar aneka perhiasan sederhana yang terbuat dari besi putih—kalung, gelang, cincin, dan anting-anting. Salah satu cincin di antara tumpukan itu menarik perhatianku. Cincin polos berwarna perak pudar dengan desain sederhana, namun entah mengapa seolah memanggilku.

Aku mencobanya. Pas di jari. Seperti sudah menantiku sejak lama.

"Berapa harganya, Pak?" tanyaku sambil mengamati kilau samar cincin itu di bawah cahaya matahari yang mulai condong.

"Tiga puluh ribu," jawab si bapak singkat. "Bisa kurang, Pak?" godaku, mencoba peruntungan.

Si bapak menggeleng tegas. "Harga pas mas".

Aku mengangguk dan menyerahkan uang tanpa banyak pikir. Sederhana, tapi ada rasa puas yang sulit dijelaskan.

"Haha....."Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar di belakangku. Suara yang aku sudah hafal suara siap ini. Aku menoleh cepat dan mendapati Hana—putri Bu Sumiyati—berdiri di sana bersama sang ayah dengan senyum geli yang sulit disembunyikan. Tatapan matanya penuh makna, seolah berkata, “Untuk apa seorang lelaki lajang membeli cincin?”

"Napain tertawa Han....?!? Suka suka aku lah..." . Jawabku gemas. "Kamu mau saya pakein ni cincin?!?!" Ledekku...

Nyengir dia, bertanda benci sambil merengut tak memberikan jawaban apapun. "Kapok lu suka ngledek aku sih...!! ". Coletehku dalam hati.

Aku hanya tersenyum tipis, pura-pura tak peduli. Tapi tawa itu seperti gema kecil yang terus terngiang saat aku melangkah keluar. Teman-temanku menambah riuh dengan celetukan-celetukan mereka.

"Wah, cincin tunangan, nih!" seru salah satu dari mereka sambil tertawa.

Aku hanya mengangkat bahu sambil menjawab "Yah semoga segera menjadi kenyataan(menikah)... Amin". 

Biarlah mereka berkata apa saja. Bukan tentang untuk siapa cincin ini, tapi bagaimana perasaan yang muncul saat memakainya. Ada sesuatu yang sederhana namun berarti—sebuah kenangan kecil dari perjalanan ini, terpatri dalam lingkaran besi putih di jari manisku sampai sekarang.

Destinasi keempat adalah Telaga Warna, sebuah danau yang terkenal karena fenomena perubahan warna airnya akibat kandungan belerang. Kami menikmati pemandangan telaga ini dari puncak Batu Ratapan Angin, sebuah spot yang menawarkan panorama indah dari ketinggian. Dari sini, hamparan warna-warni Telaga Warna terlihat begitu jelas, berpadu dengan hijaunya pepohonan di sekitarnya.

Perlu diketahuai bahwa Batu Ratapan Angin, sebuah tebing yang menawarkan pemandangan telaga dari ketinggian. Dari sana, gradasi warna air telaga terlihat begitu jelas—hijau toska berpadu dengan biru dan kuning keemasan, menciptakan lukisan alami yang memanjakan mata. Pepohonan rindang di sekitarnya melengkapi panorama indah yang seolah tak ingin kami lupakan.

Sore hari, Setelah seharian menjelajahi keindahan Dieng dan ketika matahari telah mulai condong ke barat, kami meninggalkan Dieng, menuruni jalur berkelok menuju Wonosobo. Saat waktu maghrib tiba, di kota sejuk ini, kami sempatkan bersilaturahmi ke rumah seorang sahabat, menyambut kehangatan teh manis yang disuguhkan bersama senyum ramah pemilik rumah. Suasana sederhana itu terasa begitu hangat, mengikis sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang seharian.

Sekitar pukul tujuh malam, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan di Banjarnegara. Penginapan ini merupakan rumah milik Bu Sumiati, seorang teman kami yang berasal dari Banjarnegara namun berdomisili di Bangkalan. Beliau dengan ramah menyediakan tempat menginap selama kami berada di kawasan ini.

Kami tiba di penginapan sekitar pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri, melaksanakan salat, lalu beristirahat,  bersiap menyambut petualangan hari berikutnya.

Di bawah langit Banjarnegara yang sunyi, kami menutup hari dengan syukur. Bukan hanya karena keindahan alam yang telah kami saksikan, tetapi juga karena setiap perjalanan ini telah mengikat persaudaraan kami lebih erat, menguatkan iman di setiap langkah, dan mengajarkan bahwa di balik setiap perjalanan, selalu ada pelajaran tentang hidup, alam, dan kebesaran Tuhan.

Hari Kedua: MENJELAJAHI BATURADEN DAN CILACAP

Pada tanggal 27 Januari 2025, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya, yaitu Baturaden, yang terletak di Kabupaten Banyumas. Kawasan ini menawarkan panorama alam pegunungan yang indah dengan udara yang sejuk. Fokus utama kami di sini adalah menikmati pemandian air hangat.

Pemandian air hangat di Batu Raden adalah destinasi yang sudah lama kami impikan sejak merencanakan perjalanan ini. Bayangan air hangat yang mengalir dari perut bumi, mengepul di tengah udara pegunungan yang sejuk, terasa begitu menggoda. Ini adalah pengalaman yang langka—sesuatu yang tidak bisa kami temui di Madura, tempat kami berasal.

Begitu tiba di lokasi, Ibu Leni - bendahara negara- langsung membayarkan tiket masuk. Melihat sumber air hangat, semangat kami meluap tak terbendung. Suasana riang segera terasa ketika masing-masing dari kami sibuk menyiapkan baju ganti, handuk, dan perlengkapan mandi. Tawa dan candaan kecil mengiringi langkah kami menuju kolam pemandian yang sudah menunggu dengan uap tipis yang melayang di permukaannya, seolah menyambut kedatangan kami.

Satu per satu kami masuk ke dalam kolam air hangat. Begitu kaki menyentuh airnya, sensasi hangat langsung merambat ke seluruh tubuh, mengusir dingin yang sempat menggigit kulit. Tawa riuh terdengar di antara cipratan air, seolah beban perjalanan yang melelahkan sebelumnya lenyap begitu saja.

Hari itu, tanggal 27 Januari 2025, ternyata menjadi momen istimewa bagiku—ulang tahunku. Sejujurnya, aku hampir melupakannya sendiri, sibuk dengan keseruan perjalanan. Namun, rupanya teman-teman tidak. Mereka diam-diam menyimpan rencana kecil.

Ketika aku berdiri di pinggir kolam, ragu-ragu sebelum menurunkan kaki ke dalam air, tiba-tiba—byur!—semburan air datang dari segala arah. Cipratan deras menghujaniku tanpa ampun, disertai sorakan riang, "Selamat ulang tahun! Mabruk, alfa mabruk!" Suara Oma Epi, Mbak Diyah,  mbak Sava, mbak Bibah, Mbak Anis, bu Laili, bu Elies, kang Riyan, kang Hayat, dan teman-teman lainnya bercampur menjadi satu, penuh keceriaan.

Aku terkejut luar biasa. Bukan hanya karena kejutan itu, tetapi juga karena aku bukan tipe orang yang nyaman bermain air. Aku tidak bisa berenang dan selalu berhati-hati setiap kali berada di dekat air. Namun, melihat tawa mereka yang tulus, sulit rasanya untuk tidak ikut larut dalam kegembiraan. Meski sedikit panik, aku tertawa, merasakan hangatnya bukan hanya dari air pemandian, tetapi juga dari perhatian dan kasih sayang mereka.

Setelah puas bermain air, suasana menjadi sedikit lebih tenang. Kami berendam santai, menikmati sensasi hangat yang meresap hingga ke tulang. Di tengah keheningan yang nyaman itu, Mbak Bibah tiba-tiba berkata, “Hei, teman-teman! Cobalah berendam bergantian antara air hangat dan air dingin. Katanya bisa menghilangkan risiko kanker.”

Aku mengerutkan dahi, setengah percaya, setengah tidak. “Ah, beneran nggak tuh?” tanyaku, menahan tawa. “Beneran, lho! Ada di Google,” jawab Mbak Bibah dengan penuh keyakinan. Aku tertawa pelan. “Hemm... percaya Google lagi,” gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi untuk menyenangkan hati Bu Bibah, aku akhirnya mencoba saran itu, dari setelah teman teman lain telah mencobanya satu persatu.

Dengan sedikit ragu, aku mengangkat kaki dari kolam air hangat, lalu mencelupkannya ke kolam air dingin di sebelahnya. Sensasinya? Seperti aliran listrik kecil yang menjalar cepat di kulitku. “Wah, cekit-cekit kayak kesetrum, ya?” seruku sambil tertawa. Teman-teman yang mendengar langsung tertawa serempak. “Iya, bener, kayak kesetrum, cekit cekit” sahut mereka. "Ada bernarnya juga mbak Bibah" gumamku.

Kami terus bermain-main dengan sensasi itu, berendam bergantian antara air panas dan dingin, sambil saling melempar komentar lucu. Seolah-olah kami kembali menjadi anak-anak, bebas dari beban dan hanya menikmati kebersamaan.

Setelah puas berendam, kami bergegas berganti pakaian, mengemasi barang-barang, dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Meski sederhana, hari itu penuh dengan tawa, kejutan, dan kebahagiaan yang hangat—bukan hanya dari air pemandian Batu Raden, tetapi juga dari hati kami yang saling terhubung dalam persahabatan yang tulus. Setelah lelah dari perjalanan panjang sebelumnya, berendam di air hangat ini menjadi pengalaman yang menyegarkan dan melegakan tubuh.

Selesai menikmati pemandian air hangat, kami melanjutkan perjalanan menuju Cilacap untuk bersilaturahmi ke rumah saudara Mbak Safa. Perjalanan dari Baturaden ke Cilacap memakan waktu sekitar dua jam. Setibanya di sana, kami disambut dengan hangat, melanjutkan momen kebersamaan yang penuh keakraban.

Menjelang malam, sekitar pukul delapan, kami kembali ke penginapan di rumah Bu Sumiati. Sesampainya di sana, kami membersihkan diri, beristirahat, dan bersiap untuk melanjutkan petualangan berikutnya di hari-hari selanjutnya.

Hari ke Tiga : MENYUSURI KEINDAHAN ALAM DESA PIASA ETAN BANJARNEGARA

Memasuki hari ketiga, tanggal 28 Januari 2025, perjalanan rihlah kami berlanjut dengan suasana yang lebih santai dan penuh keakraban. Kali ini, kami memutuskan untuk mengeksplorasi keindahan alam di sekitar tempat kami menginap, yaitu di Desa Piasa Etan dan Piasa Kulon. Udara pagi di desa ini terasa begitu segar, menyambut kami dengan hamparan hijau yang menyejukkan mata.

Fajar perlahan menyingkap selimut malam, menebarkan cahaya lembut yang mengintip di balik pepohonan. Udara pagi Desa Piasa Etan dan Piasa Kulon begitu segar, menusuk hidung dengan aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja disapa embun.

Kami bangun dengan semangat baru. Suasana desa yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, membuat hati terasa lapang. Tuan rumah yang ramah menyambut kami dengan senyum hangat, mempersilakan kami menjelajahi kebun mereka yang luas. Hamparan hijau memanjakan mata, dihiasi pohon durian yang menjulang kokoh, pohon jeruk sarat buah ranum, kelapa yang bergoyang pelan ditiup angin, serta aneka tanaman buah lainnya.

Kegiatan pertama kami adalah memancing di kolam ikan milik tuan rumah. Air kolam yang jernih memperlihatkan ikan nila dan lele berenang lincah, seolah menantang kami untuk mencoba peruntungan. Aku, Mas Hayat, dan Mas Riyan yang sama-sama masih jomblo, tiba-tiba terjebak dalam kompetisi kecil—siapa yang berhasil menangkap ikan duluan.

Di ujung kolam, terdengar sorakan riang dari ibu-ibu yang pelopori Bu Epi, bu lies bu Laili dan Bu Leni. "Ayo, siapa yang dapat ikan duluan, bakal dapat putri tuan rumah!" teriak mereka bercanda. Memang kebetulan, tuan rumah mempunyai gadis dewasa bernama Hana yang sekarang lagi menempuh pendidikan kebidanan semseter akhir. Tawa kami pecah, dan entah kenapa, motivasi untuk menang jadi berlipat ganda.

Riyan sempat berhasil, kailnya mengait seekor ikan ukuran sedang, namun malang, si ikan licin itu meloloskan diri entah kemana berlari. Aku terus mencoba, menahan sabar, hingga akhirnya… strike! Seekor ikan lumayan besar tersangkut di kailku. Aku mengangkatnya dengan penuh kemenangan. Mas Hayat yang penasaran tak tinggal diam. Ia mencoba berbagai cara, dari mengubah umpan hingga mengatur ulang posisi kail, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, dia menyerah. "Yah, akulah juaranya!" seruku, tertawa puas.

Namun, satu ekor ikan jelas tak cukup untuk sarapan dua puluh orang. Kami mulai kehilangan kesabaran. Untungnya, Pak Hasidin, suami Bu Sumiati, datang membawa jala. Dengan sekali lempar, jala itu menangkap puluhan ikan besar. Kami girang bukan main, buru-buru mengamankan hasil tangkapan ke dalam karung.

Setelah itu, para lelaki—termasuk aku—berpikir sudah bisa bersantai. Kami duduk-duduk di sudut penginapan, menikmati angin sepoi-sepoi sambil ngobrol ringan. Tapi, kesenangan kami tak bertahan lama. Sebuah pesan suara menggelegar di grup WhatsApp: "Hoi, orang-orang laki, di mana kalian? Ayo bakar ikan buat sarapan, cepat!" Itu suara Mbak Diyah, yang dalam kelompok kami dijuluki "komandan perang." Suaranya cukup untuk membuat kami terpental dari posisi santai, bergegas menuju lantai dua penginapan tempat alat panggang sudah disiapkan.

Namun, di sinilah kekonyolan dimulai. Kami berdiri melingkari tungku, menatap arang seolah itu teka-teki sulit. Mas Hayat dan Pak Hanapi  mencoba menyalakan arang dengan tetesan plastik. Bau menyengat langsung memenuhi udara.

Tiba-tiba, Bu Bibah, kepala sekolah yang dikenal tegas, muncul dengan ekspresi tak percaya. "Kok gitu sih cara nyalain arang? Bukan begitu caranya!" serunya, melotot sambil memberi demonstrasi singkat. Kami semua hanya bisa bengong, seperti anak-anak yang ketahuan berbuat nakal. Akhirnya, dengan arahan Bu Bibah, arang pun menyala sempurna.

Aroma ikan bakar perlahan memenuhi udara, memanggil siapa saja yang mencium untuk mendekat. Daging ikan yang menghitam di beberapa bagian, berpadu sempurna dengan bau khas arang panas. Setelah semua ikan berhasil kami bakar. Lanjut kami duduk melingkar, menikmati hasil jerih payah kami dengan nasi hangat dan sambal khas Banjarnegara hasil masakan tuan rumah.

Petualangan belum selesai. Setelah sarapan, kami diajak memetik durian langsung dari pohonnya. Momen ini jadi puncak kegembiraan. Tuan rumah memang memberikan service kepada kami dengan totalitas. Durian yang sejatinya dapat mereka jual dengan menghasilkan puluhan juta, nyatanya tidak mereka jual, namun mereka mengihlaskan untuk jamuan para tamunya dari Madura. Subhanallah. Setiap kali duduk bersama, baik saat sarapan maupun makan siang, durian montong yang legit selalu hadir di meja. Dagingnya tebal, manis, dan lembut, membuat kami tak bisa berhenti mengunyah.

Selain durian, kami juga memetik jeruk segar. Sensasi memetik sendiri buah dari pohonnya, lalu menikmatinya di bawah rindang dedaunan, adalah pengalaman yang sederhana namun membekas di hati. Selama dua hari dua malam di sini, hampir semua yang kami makan berasal dari kebun tuan rumah. Rasanya, kebersamaan ini bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang kenangan yang kelak akan kami ceritakan dengan tawa yang sama riuhnya.

Begitulah hari ketiga kami berlalu—penuh tawa, kehangatan, dan kebersamaan yang tak ternilai harganya. Menjelang siang, sekitar pukul 11.00, kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya, yaitu Pantai Jetis Porworjo yang terletak di pesisir selatan. Perjalanan dari Banjarnegara memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam.

KEINDAHAN PANTAI JETIS PORWORJO

Setibanya di Pantai Jetis, kami disambut panorama yang memukau. Hamparan pasir hitam yang lembut membentang luas, berpadu dengan deburan ombak Samudra Hindia yang gagah. Angin laut berhembus kencang, membawa aroma khas lautan yang menenangkan. Barisan pohon cemara di sepanjang pantai menambah kesan eksotis, memberikan keteduhan di tengah teriknya matahari. Suasana pantai yang tenang membuat kami betah berlama-lama, menikmati keindahan alam yang memesona ini.

Langit cerah menyambut kedatangan kami di Pantai Jetis, Purworejo. Matahari menggantung tinggi, memancarkan sinarnya yang hangat di atas hamparan pasir hitam yang membentang luas. Deburan ombak Samudra Hindia terdengar menghujam, mengiringi hembusan angin laut yang membawa aroma asin khas lautan—sebuah perpaduan yang menenangkan hati dan pikiran. Di kejauhan, barisan rumah rumah kecil gazebo  berdiri tegak, melambai pelan seolah turut menyambut kedatangan kami, memberikan keteduhan di tengah teriknya siang.

Kami melangkah ke bibir pantai, membiarkan kaki kami tenggelam dalam pasir lembut yang hangat. Suasana tenang dan damai membuat waktu seolah melambat. Masing-masing dari kami tenggelam dalam dunia kecilnya sendiri, menikmati keindahan alam dengan cara yang berbeda. Bu Nyai Afri duduk santai di sebuah gazebo bersama Hana, menikmati segarnya kelapa muda yang baru saja aku belikan. Senyum puas terpancar di wajah mereka, seolah kelapa muda itu menjadi pelengkap sempurna di bawah langit biru yang membentang luas.

Di sudut lain, Riyan dan Saif duduk berdua di gazebo yang menghadap langsung ke laut. Mereka terdiam, tatapan kosong menembus cakrawala, seolah sedang merenungi sesuatu yang hanya mereka sendiri yang tahu. Mungkin tentang hidup, cinta, atau sekadar melamunkan angan-angan yang terbawa angin laut.

Aku dan Hayat, dengan semangat yang tak kalah riang, mencoba berbagai gaya untuk berfoto dan merekam video ala model majalah. Kadang kami tertawa terbahak-bahak melihat hasil foto yang konyol, kadang berpose serius seolah-olah sedang menjalani pemotretan profesional. Tidak jauh dari kami, sekelompok emak-emak rombongan terlihat asyik mengendarai motor ATV. Tawa mereka pecah membahana, seolah mereka kembali menjadi anak SMA yang bebas tanpa beban, melupakan sejenak bahwa di rumah mereka telah memiliki cucu yang menunggu.

Setelah puas bermain, kami berkumpul di satu titik, menggelar tikar di bawah naungan pohon cemara. Angin sore mulai berhembus lebih lembut, membawa ketenangan setelah tawa dan canda yang mengisi siang kami. Tak lama kemudian, Pak Hasidin datang menghampiri kami dengan senyum lebar, membawa satu keranjang penuh berisi durian. Aroma khas durian langsung memenuhi udara, memancing antusiasme kami yang sudah lelah bermain.

Kami duduk melingkar, membelah durian satu per satu. Tangan-tangan kami berebut mengambil daging buah yang kuning keemasan, manis legit, dan lembut di lidah. Setiap suapan menghadirkan sensasi kenikmatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan melalui senyum lebar dan tawa kecil yang tak henti terdengar.

Di tengah sederhananya momen itu, kami menemukan kebahagiaan. Bukan dari kemewahan tempat atau hidangan mahal, melainkan dari tawa bersama, kehangatan persahabatan, dan kenangan indah yang tercipta di tepi Pantai Jetis yang memesona ini.

Setelah puas menikmati Pantai jetis, sekitar pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Kebumen. Tujuan kami adalah bersilaturahmi ke Pesantren Al Mujtaba asuhan Ustadz Hafit. Perjalanan ini berlangsung lancar, dan kami tiba sekitar pukul 17.00. Setibanya di sana, kami beristirahat sejenak sebelum melaksanakan salat Maghrib dan Isya secara berjamaah, menambah ketenangan spiritual di tengah rihlah kami.

Malam harinya, sekitar pukul 19.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Perjalanan ini menjadi penutup hari yang penuh kebersamaan, keindahan alam, dan hangatnya silaturahmi. Rihlah ini tak sekadar perjalanan, melainkan pengalaman berharga yang mempererat tali persaudaraan di antara kami.

Hari ke Empat : JOGJA - SOLO MENINGGALKAN KENANGAN

Selepas bersilaturahmi di Pesantren Al Mujtaba Kebumen, sekitar pukul 19.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Suasana malam di sepanjang perjalanan terasa tenang, ditemani obrolan santai dan tawa ringan di dalam kendaraan. Sekitar pukul 23.00, kami tiba di Yogyakarta dan langsung menuju kawasan Malioboro, ikon wisata malam yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk para pelancong.

Di Malioboro, kami menikmati suasana malam yang penuh warna. Lampu-lampu jalan yang berpendar terang menambah kesan magis, berpadu dengan aroma jajanan khas yang menggoda. Beberapa dari kami asyik berburu oleh-oleh, membeli kerajinan tangan, kaos khas Jogja, hingga aksesoris unik. Ada pula yang mencicipi minuman hangat wedang ronde, menghangatkan tubuh di tengah sejuknya malam. Suasana kebersamaan begitu terasa, penuh canda tawa yang menghapus lelah perjalanan.

Sekitar pukul 00.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Solo. Jalanan yang lengang membuat perjalanan terasa lebih cepat, dan kami tiba di Solo sekitar pukul 03.00 dini hari. Di sana, kami singgah di rumah Bu Diah, kakak kandung dari sahabat perjalanan kami, Bunda Nyai Afriasyatin. Di rumah yang hangat ini, sebagian dari kami beristirahat sejenak, ada yang membersihkan diri, mandi, dan ada pula yang melanjutkan tidur untuk mengisi energi sebelum melanjutkan rihlah.

Tak lama berselang, menjelang subuh, kami berangkat menuju Masjid Sheikh Zayed, masjid ikonik di Kota Solo yang menjadi daya tarik baru bagi wisatawan. Arsitekturnya yang megah dan elegan menciptakan suasana khusyuk saat kami melaksanakan salat subuh berjamaah. Sejuknya udara pagi dan keindahan masjid ini membuat hati kami tenteram, menghadirkan rasa syukur atas setiap langkah perjalanan.

Usai salat subuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Kembang untuk menikmati sarapan sederhana namun istimewa. Di sana, kami mencicipi bubur kacang hijau hangat milik Pak No, seorang kakak saya yang berjualan di pasar tersebut. Bubur kacang hijaunya yang gurih manis, berpadu dengan santan hangat, menjadi pengisi energi yang sempurna untuk memulai hari.

Setelah itu, kami bergerak menuju Pasar Palur untuk berbelanja kebutuhan kecil sebagai oleh-oleh tambahan. Tak lama di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju Sragen, tepatnya di Dukuh Pilangbangu, Kelurahan Sepat, Kecamatan Masaran, Sragen—kampung halaman saya (penulis) sendiri.

Di rumah, keluarga saya menyambut dengan hangat. Suasana silaturahmi begitu akrab, penuh kehangatan dan canda tawa. Kami disuguhi aneka hidangan khas, seperti soto hangat dengan kuah gurih, serta sayur lodeh yang lezat, menggugah selera di pagi yang cerah. Kebersamaan ini menjadi momen berharga yang tak hanya mengisi perut, tetapi juga mengikat erat tali persaudaraan di antara kami.

Sekitar pukul 10.00, perjalanan kami berlanjut menuju destinasi terakhir: Kebun Teh Kemuning di Karanganyar. Udara sejuk khas pegunungan menyambut kedatangan kami. Hamparan kebun teh yang hijau membentang sejauh mata memandang, menghadirkan ketenangan dan keindahan ciptaan Allah yang luar biasa. Kami menikmati setiap momen di sana, mengabadikan pemandangan yang menawan sambil merenungi kebesaran Allah dalam setiap helai daun teh yang terhampar rapi.

Menjelang tengah hari, sekitar pukul 12.00, kami turun kembali ke Sragen kota untuk melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara jama' di Masjid Al-Falah, Sragen. Suasana masjid yang tenang memberi kami kesempatan untuk merenung sejenak, mensyukuri nikmat perjalanan yang telah kami lalui.

Sebelum benar-benar menutup perjalanan, kami sempatkan makan siang di warung Sate Kambing Mungkung, menikmati potongan daging kambing yang empuk dan bumbu kecap yang meresap sempurna, menjadi santapan penutup yang nikmat.

Sekitar pukul 15.00, kami berangkat pulang menuju Surabaya. Perjalanan panjang ini penuh dengan kenangan, obrolan santai, dan refleksi diri. Alhamdulillah, berkat rahmat dan perlindungan Allah Ta’ala, kami tiba dengan selamat di Kamal, Bangkalan, sekitar pukul 20.00 malam.

SI LAKON DALAM PERJALANAN

Dalam setiap komunitas atau perjalanan bersama, selalu ada sosok yang secara tidak resmi menjadi "lakon" utama—seseorang yang kehadirannya menciptakan warna tersendiri, menjadi bumbu penyedap dalam setiap kisah yang terjalin. Dalam perjalanan rihlah kami ke Baradaya dari Jawa Tengah, peran itu tanpa diragukan lagi jatuh kepada Mas Hayat.

Mas Hayat adalah sosok yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Bukan karena prestasi luar biasa atau kisah heroiknya, melainkan karena keunikan yang melekat pada dirinya—seorang pria lajang, singgil, dan masih setia menunggu takdir jodoh yang entah kapan menghampirinya. Statusnya sebagai jomblo inilah yang menjadikannya bahan candaan sepanjang perjalanan. Setiap kali obrolan tentang perjodohan mencuat di dalam bus, nama Mas Hayat selalu menjadi topik utama, diiringi gelak tawa yang tak pernah gagal mencairkan suasana.

Rombongan kami terdiri dari 20 orang, berdesakan penuh keceriaan dalam sebuah bus yang dikomandani oleh sosok tegas nan cerewet: Bunda Pipit, atau yang akrab disapa Mbak Diyah. Beliau adalah "komandan perang" dalam setiap perjalanan, memastikan semua berjalan sesuai rencana, mulai dari jadwal keberangkatan hingga disiplin di setiap pemberhentian. Suaranya yang lantang menjadi alarm bagi kami semua, terutama bagi kaum laki-laki yang kerap terlena oleh waktu.

Namun, sekeras apa pun Bunda Dia berteriak, ada satu nama yang selalu menjadi "pasien tetap" dalam urusan keterlambatan: siapa lagi kalau bukan Mas Hayat. Entah bagaimana, meski sudah diperingatkan berkali-kali, dia selalu punya alasan untuk datang terlambat. Kadang karena sibuk mencari barang yang tertinggal, kadang karena alasan sepele seperti lupa memasang alarm. Tapi di balik semua itu, justru di sanalah letak pesona kisah perjalanan kami.

Salah satu momen pula yang tak terlupakan adalah ketika Mas Saif ketahuan diam-diam buang air kecil di dalam bus. IYa, benar—di dalam bus lho! Hmmm..... Dengan penuh "strategi", dia menyelinap ke pojok belakang, berpura-pura duduk tenang sambil menunduk. Rupanya, di balik ketenangan itu, dia tengah berjuang menuangkan "hajat" kecilnya ke dalam sebuah botol mineral. Begitu aksinya terbongkar, sontak seisi bus meledak dalam tawa. Bahkan mbak Diya yang biasanya tegas pun tak mampu menahan geli, meskipun tetap mengomel panjang lebar setelahnya. Oma Epik juga tak henti hentinya menertawakan ulah si Saif.

Tak berhenti di situ, setiap kali bus melaju, selalu saja ada lelucon baru yang melibatkan Mas Hayat. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, "Mas Hayat, kapan kawen?" hingga sindiran-sindiran ringan soal "koleksi cewek" fiktifnya yang konon tak terhitung jumlahnya. Padahal, sejujurnya, kami semua tahu bahwa kisah cinta Mas Hayat tidak sekompleks yang dibicarakan—justru karena itulah candaan itu semakin menggelikan.

Namun di balik semua olok-olok dan gelak tawa, ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Mas Hayat bukan sekadar bahan candaan; dia adalah perekat yang menyatukan tawa kami, sosok yang membuat perjalanan panjang terasa lebih ringan dan penuh warna. Tanpa kehadirannya, mungkin perjalanan kami akan berjalan datar, tanpa cerita-cerita konyol yang bisa dikenang bertahun-tahun kemudian.

Setiap kali kami mengingat perjalanan itu, nama Mas Hayat selalu muncul di antara tawa yang tak pernah basi. Bukan karena kekurangannya, tapi justru karena keunikan dan ketulusannya menjalani peran sebagai "lakon tak resmi" dalam kisah rihlah yang tak akan pernah kami lupakan. We love you mas Hayat....hehe...

RIYAN SI "Papa" DALAM PERJALANAN

Selain Mas Hayat yang kerap menjadi pusat perhatian dalam perjalanan rihlah kami kali ini, ada satu lagi sosok yang tak kalah mencuri perhatian—Rian. Mahasiswa semester enam ini, dengan sikap santainya yang khas, justru menjadi "lakon tak terduga" dalam kisah perjalanan kami yang penuh warna ini.

Semua bermula dari kedekatannya dengan Fatir, putra kecil Mbak Syafa yang baru berusia dua tahun. Entah karena naluri keayahan yang tak disadarinya, atau sekadar dorongan kepedulian, Rian dengan sabar membantu Fatir sepanjang perjalanan. Ia rela menggendongnya saat kaki kecil itu mulai lelah melangkah, mengantarkannya ke kamar mandi saat si kecil ingin buang air, bahkan menenangkan Fatir ketika rewel di tengah perjalanan panjang.

Perhatian tulus itu ternyata membuat Fatir merasa nyaman. Hingga suatu ketika, di dalam bus, terdengarlah suara kecil yang menggemaskan memanggil, “Papa... Papa!”. Awalnya, kami mengira Fatir memanggil ayahnya. Namun, betapa terkejutnya kami saat melihat Fatir meraih tangan Rian sambil terus mengulang panggilan itu, “Papa... Papa!” Seisi bus sontak meledak dalam tawa. Bayangkan saja, seorang mahasiswa muda, yang masih sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, tiba-tiba mendapat ‘gelar baru’ sebagai Papa—sebuah panggilan yang biasanya melekat pada sosok pria dewasa beranak.

“Eh, Fatir! Ayo panggil lagi. Siapa ini?” goda Bunda Leni sambil menunjuk ke arah Rian yang hanya bisa nyengir kuda, menahan malu yang tercampur tawa. “Papa!” jawab Fatir tanpa ragu, seolah meyakinkan seluruh dunia bahwa Rian memang papanya.

Godaan demi godaan tak berhenti di situ. Teman-teman tak melewatkan kesempatan untuk terus mengusik Rian. “Wah, Mas Rian! Cepat amat kariernya, masih semester enam udah jadi Papa,” seru yang lain disambut gelak tawa yang memenuhi bus.

Mbak Syafa, sang ibu Fatir, pun tak kalah kocak dalam menanggapi. Sambil tertawa ia berkata pada putranya, “Nak, nanti kalau sudah di rumah, jangan panggil Mas Rian ‘Papa’ lagi, ya. Nanti dikira beneran sama Ayahmu. Bisa panjang urusannya, lho!”.

Tawa meledak lebih keras. Rian hanya bisa menggeleng, wajahnya memerah menahan malu, meski senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Ia mencoba bersikap santai, tetapi jelas terlihat bagaimana godaan itu membuatnya salah tingkah.

Namun di balik semua candaan itu, ada kehangatan yang tak terbantahkan. Panggilan Papa yang keluar dari mulut mungil Fatir bukan sekadar lelucon, melainkan cermin dari kedekatan yang terjalin selama perjalanan. Keakraban tanpa batas usia, murni lahir dari perhatian kecil yang tulus.

Perjalanan ini mungkin hanya berlangsung empat hari empat malam, tetapi kisah Rian si “Papa” dadakan akan terus menjadi bagian dari memori manis yang kami bawa pulang. Sebuah pengalaman sederhana yang menghadirkan tawa, kehangatan, dan tentu saja, cerita yang akan terus diceritakan berulang kali dalam setiap pertemuan kami selanjutnya.

HIKMAH DAN PESAN

Di akhir perjalanan, kami sadar bahwa rihlah ini bukan sekadar "jalan-jalan". Ia adalah perjalanan hati, menambah iman, dan menguatkan paseduluran. Sebuah kisah yang akan selalu kami bawa, meski kaki telah melangkah pulang.

Semoga setiap langkah yang kami tapaki, setiap tawa yang kami bagi, dan setiap keindahan alam yang kami nikmati menjadi berkah dan rahmat dari Allah Ta’ala. Semoga rihlah ini menambah rasa syukur, mempererat silaturahmi, dan menumbuhkan kecintaan kami terhadap ciptaan Allah yang begitu indah. Terima kasih atas kebersamaan yang luar biasa ini. Kita jumpa lagi di momen bahagia berikutnya. Insya Allah.


================== 


Penulis : Mas Eiruel Amirudin

Aktor    : Afri A, Eiruel, Hanapi, Epik, Bibah, Anis, Safa, Fatir, Lili, Lies, Asmawati, Diyah, Leni, Hayat, Solikin, Saif, dan Riyan.

Ditulis di : Malang , Ahad 2 Februari 2025


Candi Arjuno Dieng

Foto Bersama di atas jeep
Di penginapan rumah bunda Sumiati dan Keluarga 
Di Desa Mas Eiruel

Kawah Sekidang Dieng


Baturaden Banyumas