DARI MAJELIS ULAMA SURAKARTA MENJADI MAJELIS ULAMA INDONESIA
Foto ini merupakan dokumentasi rakerda (rapat kerja daerah) Majelis Ulama Surakarta tanggal 6 Rajab 1405 atau yang bertepatan dengan tanggal 27 Maret 1985 yang dikirim seorang kawan.
Menurut keterangan bapak saya, mereka yang menghadap kamera dari kiri: KH. Amin Jaiz (Sekretaris Majelis Ulama), KH Habib Anhar (Majelis Tarjih Muhammadiyah), dan KH Ali Darokah (Ketua Umum Majelis Ulama). Yang satunya belum tahu.
Majelis Ulama Surakarta sendiri didirikan pada kisaran tahun 1962. Pendirian Majelis Ulama Surakarta semula diinisiasi oleh KH Saleh Saebani (Kauman), seorang tokoh Sarekat Islam di Surakarta, untuk menghadapi tekanan aktivitas kelompok komunis di kota Surakarta. Hal itu juga dikarenakan pembubaran Masyumi (membubarkan diri) pada tahun 1960an.
Menurut KH. Mansur Suhardi, kepala Jawatan Urusan Surakarta (Kemenag Surakarta), komunisme berkembang sangat pesat di Surakarta. Setelah Masyumi bubar pada tahun 1960, kegiatan Islam apapun di Surakarta selalu dihambat oleh PKI. Di kota Surakarta sendiri, Walikota Surakarta dijabat oleh Utomo Ramelan, seorang guru sekaligus tokoh PKI, sejak tahun 1958 menggantikan M. Saleh
Werdisastro.
Melalui inisiatif KH. Saleh Saebani, diajaklah sejumlah ulama kyai untuk bertemu membicarakan masalah tersebut yang seringnya diadakan di Masjid Agung Kauman Surakarta atau kantor jawatan agama Surakarta. Diantara para ulama dan kyai yang hadir antara lain KH. Saleh Syaebani (Kauman) sendiri, KH. Marwan Ashuri (Tegalsari), KH. A. Ma’ali (Sondakan), KH A. Muslim (Sondakan), H. Abdul Karim Tasyrif (Penumping), KH. Amir Tohar (Jayengan), KH. Imam Ghozali (Begalon), KH. Sahlan Rosyidi (Kepatihan), KH. Abdussomad (Nirbitan), KH. Mufti (Kauman), dan KH. AbdulMufti Handipaningkrat (Kauman). Ringkas cerita, kemudian dibentuklah wadah bersama lembaga fatwa dengan nama Majelis Ulama (MU) Surakarta di rumah KH. A. Ma’ali (Sondakan)pada tanggal 8 Agustus 1962 atau bertepatan dengan 8 Rabi’ul Awal 1382 H.
Para ulama yang tergabung di dalam Majelis
Ulama (MU), antara lain berangkat dari tokoh-tokoh Islam di Al Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Sarekat Islam, Nahdlotul Ulama, Djama’atoel Chasanah, dan lain-lain. Para ulama dan kyai di Majelis Ulama disupport oleh para mubaligh atau juru dakwah dalam
organisasi dakwah Pelaksana Tabligh di bawah koordinasi Kyai Abdani (Banyuanyar) yang tinggal dekat Masjid Mujahidin. Mubaligh Pelaksana Tabligh mampu mengkoordinasikan sekitar 200 masjid di Surakarta dan sekitarnya.
Majelis Ulama awalnya diketuai oleh KH Mansur Suhardi, kemudian digantikan KH. Sahlan Rosyidi. Setelah KH Sahlan Rosyidi ditetapkan menjadi angota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)provinsi Jawa Tengah, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Ali Darokah sebagai Ketua Umum dan KH.
Amien Jaiz sebagai Sekretaris.
Di kemudian hari, tepatnya tanggal 26 Juli 1975, secara resmi terbentuklah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan legitimasi dari pemerintahan pusat (Presiden Soeharto). Beberapa ulama di Surakarta menyatakan tidak berkenan untuk bergabung atau ganti nama menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Di seluruh kota di Jawa Tengah, hanya kota Surakarta yang tidak mau. Namun kemudian MU Surakarta dipaksa untuk ganti nama dan bergabung dengan MUI Pusat. KH Ali Darokah diangkat sebagai Dewan Pertimbangan MUI Jawa Tengah.
Dimulai pada tahun 1975, sejak KH. Ali Darokah tampil sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta. Pergerakan formalistik Islam yang dicita-citakan, berubah menjadi organisasi yang kritis terhadap realitas sosial-keagamaan. MUI Surakarta tidak jarang tampil mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Diantara aktivitas MUI Surakarta diwujudkan dalam bentuk seruan dan nasehat kepada pemerintah, seperti misalnya respons MUI Surakarta terhadap UU Perkawinan,
upacara bendera di dalam kelas, pelarangan berjilbab untuk siswi dan kebijakan lainnya.
-Sumber utama tulisan Buku MUI dan Dinamika Sosial Keagamaan di Surakarta tulisan Hasan Maftuh, MA dan M. Mustholiq Alwi, M.Pd-