*REBANA MENYERTAI MAULID NABI ﷺ*
Dalam acara maulid Nabi ﷺ, tidak jarang disertai dengan penabuhan rebana, agar acara suka cita semakin terasa dengan lahirnya Rasulullah ﷺ.
Dalil penabuhan rebana tersebut antara lain adalah hadits berikut ini:
عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ الْحُصَيْبِ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ ، قَالَ: رَجَعَ رَسُوْلُ اللَّہِ ﷺ مِنْ بَعْضِ مَغَازِيْهِ، فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللَّہِ! إِنِّيْ نَذَرْتُ - إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا - أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالْدُفِّ؟ فَقَالَ رَسُوْلَ اللَّہِ ﷺ : "إِنْ نَذَرْتِ فَافْعَلِيْ؛ وَإِلَّا فَلَا". قَالَتْ: إِنِّيْ كُنْتُ نَذَرْتُ، فَقَعَدَ رَسُوْلُ اللَّہِ ﷺ، وَضَرَبَتْ بِالْدُفِّ وَقَالَتْ:
أَشْرَقَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا ... مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا ... مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعِ
Dari Buraidah bin al-Hushaih ُرَضِيَ اللَّه عَنْهُ "Rasulullah ﷺ pulang dari sebagian peperangan. Lau seorang budak wanita berkulit hitam datang dan berkata, "Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah bernazar, jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat, akan menabuh rebana di atas kepalamu." Rasulullah ﷺ bersabda, "Apabila kamu memang bernazar, maka lakukanlah. Tapi apabila tidak bernazar, maka jangan. Wanita itu berkata, "Aku telah bernazar." Lalu Rasulullah ﷺ duduk dan wanita itu menabuh rebana dan berkata,
Bulan purnama telah muncul kepada kamu dari arah Tsaniyyatl Wada'
Kami wajib bersyukur, selama penyeru berseru kepada Allah.
(Hadits shahih riwayat Ibnu Hibban [4386]. Sedangkan bacaan bait tersebut, terdapat dalam riwayat Mawarid al-Zham'an [2015].)
Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ memperkenankan seorang budak wanita untuk memenuhi nazarnya, dengan menabuh rebana di atas kepala Rasulullah ﷺ, apabila Rasulullah ﷺ pulang dari peperangan dengan selamat. Hadits ini menjadi dalil bolehnya menabuh rebana ketika pembacaan bait-bait syair dalam maulid dan shalawat.
Dalam Riwayat lain.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْلَمُ اللَّهُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ
Dari Anas bin Malik berkata; “Nabi ﷺ melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, ‘Kami gadis-gadis Bani Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad’.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka.”
[Hadits Ibnu Majah No.1889]
Bahkan boleh hukumnya memainkan rebana (dan diiringi dengan pembacaan shalawat) meskipun di dalam masjid, misalnya untuk kepentingan acara pernikahan dan lainnyalainnya tentu saja dengan menjaga adab-adabnya seumpama tidak dimainkan ketika sedang shalat berjama'ah berlangsung dan lain-lain
Imam Ibnu Hajar al-Haitami Rahimahullah mengatakan :
وفي الترمذي وسنن ابن ماجه عن عائشة – رضي الله تعالى عنها – أن النبي – ﷺ – قال «أعلنوا هذا النكاح وافعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدف» وفيه إيماء إلى جواز ضرب الدف في المساجد لأجل ذلك فعلى تسليمه يقاس به غيره
“Dan di dalam kitab hadits “At-Tirmidzi” dan “Sunan Ibnu Majah” dari Aisyah, semoga Allah ta’ala meridhoinya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: Siarkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di masjid-masjid, dan mainkanlah dengan rebana !. Di dalam hadits tersebut merupakan isyarat akan dibolehkannya memainkan rebana di masjid-masjid karena acara resepsi pernikahan. Dengan demikian atas ketaslimannya (menerima hukum dibolehkannya memainkan rebana), maka dengan itu DIQIYASKAN atau dianalogikan kepada memainkan rebana selain untuk acara resepsi pernikahan.”
[Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyyah, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, jilid 4 halaman 356, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon]
حدثنا نصر بن علي الجهضمي و الخليل بن عمرو . قال : حدثنا عيسى ابن يونس , عن خالد بن الياس , عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن , عن القاسم , عن عائشة , عن النبي ﷺ قال: أعلنوا هذا النكاح , و اضربوا عليه بالغربال
“Telah menceritakan kepada kami Nashr bin al-Jahdhomi dan Kholil bin Amr, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isya ibnu Yunus, dari Kholid bin Ilyas, dari Robi’ah bin Abi Abdurrahman, dari al-Qasim, dari Aisyah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: Dan siarkanlah pernikahan ini dan mainkanlah rebana !”.
[Sunan Ibnu Majah, jilid 1 halaman 611, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon].
حدثنا أحمد بن منيع . أخبرنا يزيد بن هارون . أخبرنا عيسى بن ميمون عن القاسم بن محمد , عن عائشة قالت : قال رسول الله ﷺ : أعلنوا هذا النكاح و اجعلوه فى المساجد , و اضربوا عليه بالدفوف . هذا حديث حسن غريب فى هذا الباب
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’. Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun. Telah menceritakan kepada kami Isya bin Maimun dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Siarkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di masjid-masjid, dan mainkanlah dengan rebana ! Ini Hadits Hasan Gharib di dalam Bab ini.”
[Sunan at-Tirmidzi, jilid 2 halaman 276, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon]
Terkait Hukum Melantunkan Nasyid Syair Dzikir di Dalam Masjid
صرح الإمام نواوي : «“ يمكن قراءة الشعر في المسجد ، طالما أنه يحتوي على مدح الرسول والإسلام ، أو يحتوي على الحكمة والشخصية النبيلة ، أو يحتوي على الزهود ومختلف الأشياء الجيدة الأخرى “»
Abu Zakariya An Nawawi Rahimahullah berkata :
{“ Boleh membaca Syair di dalam masjid , asalkan berisi pujian terhadap Nabi dan islam, atau berisi hikmah dan budi pekerti yang Luhur atau berisi zuhud dan berbagai macam kebaikan Lain nya “}
[Kitab Syarḥ Shaḥīh Muslim Jilid 16 Halaman 276]
Terkait Hukum Menari ketika Ber Syair
Menurut para ulama Syafi’iyyah hukum Tarian adalah Mubah menurut pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada tarian goyangan patah-patahnya seperti yang dilakukan para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan) ataupun sebaliknya, maka hukumnya menjadi haram.
Zakariya Al Anshari Rahimahullah berkata :
( الأرقص ) فليس بحرام ولا مكروه بل مباح الخير الصحيحين أنه لة وقف لعائشة يسترها حتى تنظر إلى الحبشة وهم يلعبون ويزفنون والزفن الرقص ولأنه مجرد حركات على استقامة أو اعوجاج
{“ ( Landasan Ar Raqsh Menari ) adalah Tidak di Haramkan dan Tidak di Makruhkan namun hukum yang Utama Lebih baik atas ketetapan ini adalah MUBAH DI PERBOLEHKAN sebab ada dalil dari dua Hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwasanya Nabi berdiri untuk mengajak Aisyah Lalu ia menutupi nya sehingga Aisyah bisa melihat orang orang Habaysah yang sedang bermain , Ber Zafin dan Menari Nari karena hal tersebut hanya Lah semata mata Gerakan ke Lurusan atau Gerakan melengkung membengkokan Badan ”}
[Kitab Hasyiyah Al jamal Alaa Syarh Al Manhaj Karya Al Hafizh imam Zakariya Al Anshari jilid 8 Halaman 436]
Imam ar-Ramli Rahimahullah mengatakan :
( لا الرقص ) فلا يحرم ولا يكره لأنه مجرد حركات على استقامة واعوجاج ولإقراره صلى الله عليه وسلم الحبشة عليه في مسجده يوم عيد ، واستثناء بعضهم أرباب الأحوال فلا يكره لهم وإن كره لغيرهم مردود كما أفاده البلقيني بأنه إن كان عن رويتهم فهم كغيرهم وإلا لم يكونوا مكلفين ، ويجب طرد ذلك في سائر ما يحكى عن الصوفية مما يخالف ظاهر الشرع فلا يحتج به .نعم لو كثر الرقص بحيث أسقط المروءة حرم على ما قاله البلقيني ، والأوجه خلافه . (إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث ) بكسر النون وهذا أشهر وفتحها وهو أفصح ، فيحرم على الرجال والنساء ، وهو من يتخلق بخلق النساء حركة وهيئة ، وعليه حمل الأحاديث بلعنه ، أما من يفعل ذلك خلقة من غير تكلف فلا يأثم به
“ {Bukan Tarian} maka tidak haram dan tidak makruh, karena tarian itu hanyalah semata-mata gerakan berdasarkan kelurusan dan kebngkokan. Karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengakui perbuatan Habasyah yang menari di dalam masjidnya di hari lebaran. Para ulama mengecualikan orang-orang shalih yang memiliki ahwal (suatu tingkatan keadaan tertentu dalam ilmu tasawwuf), maka bagi mereka tidak dimakruhkan. Walaupun dimakruhkan bagi selain mereka ditolak sebagaimana yang dikatakan al-Balqini bahwasanya jika dari riwayyat mereka, maka mereka seperti yang lainnya, jika tidak, maka mereka tidaklah dibebankan. Dan wajib menolak hal itu di dalam apa yang dihikayatkan oleh kaum shufiyyah yang secara dhahirnya bertentangan dengan syari’at, hal ini tidak boleh dibuat hujah. Ya, jika tarian ini banyak (sering) dilakukan dengan sekiranya dapat menjatuhkan kehormatan diri, maka hal itu menjadi haram sebagaimana dikatakan al-Balqini, tapi pendapat yang lebih terarah adalah kebalikannya. {Kecuali jika ada goyangan patah-patahnya seperti perbuatan bencong}, maka haram bagi laki-laki dan perempuan. Bencong (Mukhannits) adalah laki-laki yang berperilaku seperti perilaku wanita dengan gerakan yang lembut, kepadanyalah datang hadits laknat atas mereka. Adapun orang yang berprilaku seperti itu secara tabiat bawaannya, maka tidaklah berdosa “.
[Nihayah al-Muhtaj, ar-Ramli : 8/298, versi Maktabah Syamilah.]
Wassalamu'alaikum 🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar